Biarkan air mata ini mengalir bersama dengan dosa-dosa yang teringat. Lelapkan semua kesemuan dunia yang hanya sementara. Bukalah sedikit matamu untuk melihat dunia yang abadi, telungkupkanlah tanganmu untuk memberi... Berikan senyummu agar orang lain merasakan kabahagiaanmu... mari lukis perasan hati mencintaiNya dengan keimanan dan ketakwaan. Bismillah...

Jumat, 10 Juni 2011

Abdullah Bin Abbas,r.a “ Samudera Ilmu dan Sahabat yang Handal Berdiplomasi”

By. Abu Majid ( Dari berbagai sumber )

    Ibnu Abbas adalah seorang yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. Kendati kemudian ia ditinggal wafat Rasulullah masih dalam usia belasan tahun, Ibnu Abbas toh mampu berkembang menjadi insan pilihan. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasulullah.

   Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Sungguh luar biasa, dari kecilnya, Ibnu Abbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil. Sambil menepuk-nepuk bahunya Rasulullah mendoakannya, “Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”

Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan di mana Rasulullah mengulang-ngulang do’a nya bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu. Dan ketika itu, mengertilah Abdulloh bin Abbas bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini.

Ketika Rasulullah wafat umurnya belum lagi lebih tiga belas tahun, tetapi dari kecil tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majelis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkan.

  Setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A’la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari sahabat-sahabat Rasul yang pertama apa-apa yang luput didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah sendiri. Suatu tanda tanya (rasa ingin tahu) terpatri dalam pribadinya.
Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer dan tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap pengumpulan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.  

  Pernah ia menceritakan pengalamannya, “Pernah aku bertanya kepada tiga puluh orang sahabat Rasul mengenai satu masalah.” Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkan sebagai berikut “Tatkala Rasulullah wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: “Marilah kita bertanya kepada sahabat Rasulullah. Sekarang ini mereka hampir semuanya sedang berkumpul?”Jawab pemuda Anshar itu, “Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat sahabat Rasulullah ?” Demikianlah mereka tak mau di ajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah.

“Pernah aku mendapatkan satu hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya. Saat itu ia kebetulah sedang tidur siang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: “Hai hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?” “Tidak!” ujarku, “bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda!” Kemudian kutanyakan sebuah hadits dan aku belajar daripadanya!”
   Pemuda Abbas yang agung ini bertanya dan bertanya terus. Lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang brilian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh. Hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul mu’minin Umar bin Khaththab ra menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting.
Pada suatu hari ditanyakan kepadanya “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Jawabnya, “Dengan lidah yang gemar bertanya dan akal yang suka berfikir!”
Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan kepandaiannya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai manusia pilihan.
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas melukiskannya begini:
“Tak seorangpun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik. Padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!”

Seorang muslim penduduk Bashrah (Ibnu Abbas pernah menjadi Gubernur di sana, diangkat oleh Ali) melukiskannya pula sebagai berikut: “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara; menarik hati pendengar apabila ia berbicara, memperhatikan setiap ucapan pembicara, memilih yang teringan apabila memutuskan perkara dan menjauhi sifat mengambil muka, menjauhi orang-orang yang rendah budi, menjauhi setiap perbuatan dosa.
Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran istimewa. Alasan yang dikemukakannya bagai cahaya matahari, menembus kalbu menghidupkan iman.
Dalam percakapan atau dialog, tidak saja membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara.

   Ibnu Abbas telah lama ditakuti oleh kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam. Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah percakapan yang mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan:
Tanya Ibnu Abbas, “Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali?” Ujar mereka, “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya. Pertama dalam agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman “Tak ada hukum kecuali bagi Allah!” Kedua, ia berperang tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaiknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya!” Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang mukmin lagi, berarti ia kepala bagi orang-orang kafir!
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya, “Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam agama Allah, apa salahnya? Bukankah Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakim!” (QS.Al-Maidah: 95)
“Nah, atas nama Allah cobalah jawab: Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?” Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan bantahannya, “Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah dan Ummul Mu’minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?”
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lalu menutupi muka mereka dengan tangan. Sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ke tiga, “Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah! Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah” Tiba-tiba utusan Quraisy menyela, “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu! Maka tulislah: “Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!” Kata Rasulullah kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tidak hendak mengakuinya!” Lalu kepada penulis surat itu diperintahkan, “Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis! Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!”

Demikianlah dengan cara menarik dan menakjubkan berlangsung tanya jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij. Belum lagi tukar pikiran selesai, dua puluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali!”
Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi. Yakni etika ilmu serta akhlaq para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat kepemurahannya, ia bagaikan Imam dengan panji-panjinya.
Disamping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenal atau tidak, beroleh kebaikan.
“Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui ini. Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutuskan sesuatu perkara dengan adil maka aku merasa gembira dan turut mendo’akannya, padahal tak ada hubungan perkara antara aku dengannya. Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi kaum muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekorpun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut!” Demikian kata Ibnu Abbas perihal dirinya.·

  Ibnu Abbas wafat di Thaif pada tahun 78 Hijriyah dalam usia 81 th. Yang menshalati beliau dan sekaligus menjadi Imam, adalah Muhammad bin Hunaifah, beliau pula yang memasukkan ke dalam kuburnya.
Disebutkan pula dalam Siyar al-‘Alam an-Nubala’. Hadits yang diriwayatkan Thabrani menerangkan, bahwa Ibnu Jubair menceritakan, saat Ibnu Abbas wafat di Thaif, kami menyaksikan jenazahnya, maka tiba-tiba kami melihat burung putih datang yang tidak diketahui bentuk dan wujudnya. Kemudian masuk kedalam keranda mayat Ibnu Abbas. Kami memandang keranda itu dan berfikir apakah burung tersebut akan keluar, ternyata burung tersebut tidak diketahui keluarnya dari keranda mayat itu. Dan saat mayat telah dimakamkan tiba-tiba ditepi kuburan Ibnu Abbas terdengar suara bacaan ayat al-Quran surat al-Fajr 27 -30.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku” (QS al-Fajr 27-30).
Orang –orang semakin tertegun karena Suara itu tidak diketahui siapakah yang membacanya. wallahu A’lam bisshowab..........(nn/Abu Majid)
 

Selasa, 07 Juni 2011

Batumarta : "Mujahid Hidayatulloh"

Dari Milis sebelah....   
   
     Batumarta - Baturaja

  PESANTREN Lukmanul Hakim, Batumarta, Sumatera Selatan.  Rabu, 4 Agustus 2010, jam di laptop saya menunjukkan pukul 03.03 dini hari. Mata saya sulit terpejam. Padahal, saya ingat benar, pukul 00.05 saya baru merebahkan badan. Ini tidak seperti biasanya. Saya tergolong orang yang mudah tidur, di mana saja, dan kapan saja. Apalagi, Selasa, sehari sebelumnya, seharian penuh saya harus menempuh perjalanan dari Surabaya ke Batumarta. Berangkat dari Surabaya pukul 08.15 sampai di Batumarta pukul 23.00.

Empat jam saya sempat menunggu di Bandara Soekarno Hatta, ditambah sekitar enam jam perjalanan darat dari Palembang ke Batumarta. Tentu cukup melelahkan. Senin malam sebelumnya, saya dipaksa dokter Abdul Gofir SpPd, kawan saya, harus menjalani pemeriksaan darah di kliniknya, di Jombang, Jawa Timur. Ternyata kadar Trigliserid saya mencapai 336,7 mg/dl, cukup tinggi dari kadar normal yang harusnya dibawah 150 mg/dl.

Tentu saja, perjalanan panjang dengan kondisi tubuh yang tak terlalu prima itu sangat berat. Tapi, entah mengapa, Rabu dini hari itu, saya merasa ada energi yang menggerakkan untuk menulis kisah-kisah ini. Ya, bisa saya katakan kisah-kisah, sebab ternyata bekas lokasi transmigrasi di Batumarta ini menyimpan serangkaian kisah perjuangan yang penuh hikmah.

Sekitar tiga pekan lalu,  saya dihubungi Ustad Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), agar menyiapkan jadwal ke Baturaja, Sumatera Selatan. Ada serangkaian acara dakwah, katanya. Saya sanggupi saja permintaan itu. Tetapi, hari Senin, 2 Agustus 2010, usai mengisi sebuah acara di Bojonegoro, kondisi kesehatan saya menurun. Kepala pusing, perut mual-mual, dan beberapa kali harus buang hajat.

Satu SMS saya kirim ke Sekretaris DDII, Pak Amlir Syaifa: “Mohon maaf, saya tidak bisa ke Baturaja, karena kondisi kesehatan saya.”  Tiket sudah dibelikan. Saya harus mencari pengganti. Walhasil, sampai Selasa paginya, tak kunjung ketemu seorang pun yang bisa menggantikan saya.

Akhirnya, bismillah. Selasa, 3 Agustus 2010, saya putuskan berangkat ke Baturaja. Empat jenis obat dari dokter tak lupa saya bawa. Jadwal keberangkatan pesawat ke Palembang pukul 14.10. Karena pesawat dari Surabaya tiba di Cengkareng pukul 09.30, saya memutuskan untuk menunggu di Bandara. Sekitar pukul 13.00, Ustad Syuhada Bahri tiba di Bandara Soekarno Hatta bersama Rusdi, staf DDII Bidang IT dan dokumentasi.

Seperti sudah menjadi tradisi, pesawat ke Palembang telat 30 menit. Kami mendarat di Palembang pukul 15.35.  Dua orang menjemput kami: seorang pengemudi, dan satunya lagi diperkenalkan namanya,  Ahmad Ramadhan.  Ternyata, dia dai DDII yang sudah bertugas di Batumarta sejak tahun 1979, saat daerah Batumarta masih belantara.

Sepanjang perjalanan itulah, saya tekun mendengar cerita tentang Batumarta dari Ustad Syuhada Bahri dan Ahmad Ramadhan. Saat pertama kali diutus berdakwah di Batumarta tahun 1984, menurut Ustad Syuhada, jalanan masih berupa tanah. “Jika hujan, lumpurnya setinggi mata kaki,” paparnya.  Ahmad mengaku pernah berpapasan dengan ular sanca berdiameter paha manusia. Ular itu lewat saja di hadapannya.  Ia belum pernah bertemu harimau. Tapi, seorang kenalannya pernah menabrak harimau dengan motornya saat harimau itu mengejar seekor babi hutan. Motor terjungkal. Harimau itu menatap teman Ahmad. “Aneh, setelah tertabrak dan diam, harimau tidak menerkam manusia, tapi kembali lari mengejar babi,” tutur Ahmad.

“Itu harimau yang istiqamah, konsisten mengejar tujuan awalnya” canda Ustad Syuhada.

Saat itu, keluar masuk hutan, naik turun sungai – meskipun di malam hari – tidak membuat khawatir, apakah bertemu ular atau harimau. “Justru kini rumah-rumah transmigran sudah berbeton dan berkeramik, ada dua warga meninggal dipatok ular kobra,” papar Ahmad lagi.

Kisah-kisah dai-dai DDII di daerah Batumarta itu sangat menggairahkan, sampai berhasil mengusir rasa kantuk. Saya penasaran, ingin melihat kondisi Batumarta,   sebuah dunia baru yang belum pernah terlintas dalam mimpi saya.  Beberapa kali saya telah menjelajah area Sumatera Selatan, tapi baru kali itu, saya menemukan rangkaian kisah nyata yang sangat menarik. Naluri kewartawanan saya seperti hidup lagi. Kisah-kisah itu sayang untuk dilewatkan. Saya khawatir, kisah-kisah perjuangan – bahkan bisa dikatakan kisah-kisah jihad – putra-putra muslim itu tak akan pernah terekam dalam goresan pena sejarah.

*****

Setiba di Pesantren Luqmanul Hakim, pukul 23.00, sesosok laki-laki mungil menyambut kami. Ia bernama Mansur Suryadi (59 tahun). Orangnya terkesan pendiam. “Beliau ini dai pertama Dewan Da’wah,” Ahmad Ramadhan mengenalkannya pada saya.  Saya berusaha mengorek dan mengais kisah-kisah awal Suryadi datang ke Batumarta.

Kisah itu bermula 32 tahun lalu.

Tahun 1978, saat itu Suryadi masih berumur 27 tahun. Terdorong untuk mencari penghidupan yang lebih baik, tamatan sebuah Madrasah Aliyah di Ngawi, Jawa Timur, ini memberanikan diri mendaftar sebagai calon transmigran umum. Bersamanya ada 100 kepala keluarga.

Suryadi lulus Aliyah tahun 1969. Aktivitas mengajar sudah menjadi darah dagingnya. “Setamat Tsanawiyah, saya sudah mengajar,” katanya. Ia mengajar agama dan bahasa Arab. Salah satu muridnya adalah Prof. Qamari Anwar, mantan Rektor Universitas Hamka Jakarta.

Bersama istri dan anak pertamanya,  ia berangkat dari Ngawi menuju Batumarta. Tujuh hari perjalanan ia jalani. Suryadi  bersyukur dapat menginjakkan kaki di lokasi transmigrasi. Rumah yang dijanjikan ditumbuhi pohon ilalang setinggi dada manusia. Pepohonan besar masih bercokol di sana-sini. Rumah itu berukuran 6x6 meter, terbuat dari papan kayu, berlantai tanah.  Tak ada sumur, tak ada WC, apalagi listrik.

Suryadi mengaku tidak punya keahlian bertani. Toh, hari-harinya harus dilalui dengan membabat ilalang, membuka lahan. Ia tanam singkong dan padi. Tapi, sampai berbulan-bulan, hasratnya untuk mengajar belum terpenuhi. Ia pernah mencoba ke Baturaja, melamar di sebuah sekolah, tapi ditolak. Pada bulan ke sepuluh, ia memutuskan menjual lokasinya, karena belum ketemu tempat mengajar.

Ada yang menawar Rp 50.000. Ia setuju menjual rumah dan lahannya. Dengan uang sebesar itu, ia dan keluarga bisa kembali ke kampung asal, di daerah Ngawi. Ongkos Batumarta-Ngawi saat itu hanya Rp 6.000. Ternyata, pembeli hanya memiliki uang Rp 25.000. Katanya, sisanya akan dicicil kemudian hari. Entah kapan. Suryadi keberatan. Padahal, jika sekarang lahannya yang lima hektar luasnya dijual,  harganya sudah lebih dari Rp 500 juta.

“Akhirnya, saya kuat-kuatkan tinggal di sini,” katanya, mengenang.

Tak berapa lama, sinar kehidupan mulai tampak. Suryadi mendapat tawaran mengajar agama di sebuah SD. “Saya sangat bahagia,” tambahnya. Sejak itu, babak baru kehidupannya sebagai dai dan ustad di Batumarta dimulai. Tapi, bersama itu pula, ujian demi ujian pun menyertainya. “Ada tiga kali saya berurusan dengan aparat keamanan,” kenangnya.

Selasa menjelang tengah malam itu, satu persatu diceritakannya kisah-kisah itu.

Kisah pertama terjadi tahun 1984, menyusul memanasnya jagad politik Indonesia akibat penandatanganan Petisi 50. Sejumlah tokoh purnawirawan dan sipil terkemuka, termasuk Ketua DDII, Muhammad Natsir, menandatangani Petisi yang memberikan kritik keras terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Seluruh penandatangan Petisi ditetapkan sebagai “Pembangkang” oleh penguasa. Mereka dicekal pergi ke luar negeri. Beberapa jenderal purnawirawan dipersulit kehidupannya. Dua di antaranya adalah Letjen TNI Ali Sadikin dan Letjen TNI HR Dharsono. M. Natsir pun dilarang keluar negeri. Bahkan, gaji pensiunnya sebagai mantan Perdana Menteri RI pernah ditahan.

Imbas politik di Ibu Kota itu sampai juga ke belantara Batumarta. Dai-dai DDII, seperti Suryadi dicurigai kegiatannya. “Padahal, gara-garanya, Ketua DDII Palembang, Husin Abdul Muin,  ada masalah pribadi dengan pegawai Departemen Agama setempat,” kata Suryadi.

Kala itu, Suryadi sudah resmi menjadi dai DDII.  Ia bermaksud menyelenggarakan pelatihan imam dan khatib. Ada enam belas desa didatanginya untuk mengedarkan undangan. Radius desa-desa itu mencapai 50 km. Alat transportasi hanya sepeda. Kadangkala, dengan lampu senter, ia harus menerobos belantara, berkeliling desa, mengantar undangan. “Alhamdulillah, ada sekitar 40 orang yang bersedia mengikuti,” kata Suryadi.

Karena ada pejabat yang mengaitkan Husin dengan Petisi 50, Suryadi tiba-tiba dipanggil ke kantor Sospol Baturaja. Husin Abdul Muin dianggap ada kaitan dengan Petisi 50. Suryadi pun dikait-kaitkan. Padahal, tidak sama sekali. Ia hanya seorang dai DDII.  Tahun 1979, ia menjadi dai DDII. Tahun 1982, barulah ia sempat menjalani pelatihan dakwah selama 40 hari di Pesantren Pertanian Darul Falah, Bogor.  Menurut Ustad Syuhada, saat itu, hampir semua dai DDII menjadi sasaran kecurigaan, gara-gara kasus Petisi 50. Sebagai staf Pak Natsir yang mengurusi masalah dai-dai di dalam negeri, Syuhada mendapatkan banyak laporan kesulitan para dai di daerah. Maka, ia sampaikan usulan kepada Pak Natsir agar mencabut tanda tangannya dalam Petisi. Tapi, Pak Natsir menjawab, “Itu sudah hasil istikharah saya.”

Di Batumarta, Suryadi terkena imbas, meskipun dia tidak menyesal dan menyalahkan Pak Natsir. Suryadi mengaku bangga pernah dilatih langsung oleh M. Natsir. “Saya diminta membubarkan acara pelatihan imam dan khatib oleh pejabat Sospol Baturaja,” kata Suryadi. Ia memilih sikap menuruti saja kata-kata pejabat pemerintah itu. Tapi, ia tidak tahu, bagaimana cara memberi tahu para undangan. Ternyata, tepat pada hari H, jamaah tetap berdatangan, dan pelatihan itu tetap dilaksanakan. Karena lokasinya yang jauh dari permukiman, maka tidak ada yang mempersoalkan.

Suryadi mengaku sebagai orang kecil dan dai di pelosok yang sama sekali tidak ikut-ikutan persoalan politik di pusat kekuasaan. Toh, saat itu, untuk urusan pelatihan imam dan khatib saja, dikait-kaitkan dengan urusan kekuasaan, dan harus dibatalkan.

*****

Tantangan demi tantangan dakwah terus dialami Suryadi.  Ujian dakwah yang berat kedua dialami Suryadi pada tahun 1988. Suatu hari, di tengah malam, datang seorang polisi ke rumahnya. Ia ditanya tentang berbagai hal. Ternyata, ada dai dari Jakarta yang ditangkap gara-gara mengambil gambar gereja dan kantor aparat keamanan di Palembang. Dai itu mengaku bermaksud mengunjungi rumah Suryadi.

Akhirnya, Suryadi dipanggil ke kantor polisi. Ia diminta membawa seluruh buku dan kitabnya. “Saya membawa dua tas besar,” kenangnya. Untuk mencapai kantor polisi, ia harus naik angkutan umum lebih dari satu jam perjalanan. Sesampai di sana, seorang pegawai Departemen Agama sudah disiapkan untuk memeriksa buku-bukunya. Akhirnya ia berhasil melunakkan hati Kapolres Baturaja, dan dia diizinkan kembali ke rumahnya.

Pengalaman yang dialami Suryadi mungkin tidak terbayangkan oleh banyak generasi muda muslim pada era saat ini. Banyak anak muda tidak sadar, bahwa suasana dakwah yang lebih kondusif saat ini, bukanlah muncul begitu saja, tetapi sudah melalui jalan yang panjang. Orang-orang seperti Suryadi tidak berkampanye tentang hal-hal besar, tetapi dia bekerja di lapangan, berjihad menyebarkan ilmu, mengajar masyarakat tentang ad-Dinul Islam.

Pada saat Subuh,  Rabu pagi hari, Suryadi sudah menunggu di depan kamar tempat kami menginap. Dia mengajak kami shalat Subuh. Dia memimpin sendiri  jamaah Subuh para santrinya, yang kini mancapai 300 orang lebih. Usai shalat, Suryadi memberikan nasihat-nasihat sederhana, dalam bahasa Arab yang mudah dipahami oleh para santri. Cara berkomunikasinya sangat akrab. Tampak sangat bersahaja.

Saya merenung, masih ada berapa banyak lagi ustad-ustad seperti Suryadi ini? Secara formal, dia hanya lulusan Madrasah Aliyah. Tapi, dia berani menjalani kehidupan. Dia mengajarkan ilmunya. Kini, berapa banyak sarjana bidang dakwah dan pendidikan Islam yang memiliki mental seperti Suryadi?

****

Ujian terberat dialami Suryadi di akhir tahun 1992. Ia bersama sejumlah Ustad pesantren Luqmanul Hakim dijebloskan ke penjara gara-gara sebuah edaran yang dikirimkan ke beberapa gereja di wilayah Baturaja. Edaran itu bercerita tentang kemustahilan Yesus sebagai Tuhan. Suryadi bercerita, dia sebenarnya tidak ikut membuat dan mengedarkan surat tersebut. Pembuatnya adalah Zuhdi Safari, Kepala Sekolah SD Batumarta.

Kepada saya, Zuhdi Safari (62 tahun) mengaku, dia membuat surat itu karena menjawab edaran Kristen yang disebarkan ke rumah-rumah penduduk dan juga sekolahnya. “Saya hanya membalas apa yang mereka lakukan,” kata Mbah Safari, begitu sekarang dia biasa dipanggil.

Meskipun hanya memberikan persetujuan, Suryadi diganjar hukuman enam bulan penjara, lebih rendah dua bulan dari tuntutan jaksa. Dia dikenai pasal penodaan agama, KUHP pasal 156 A. Sebelum menjalani persidangan, Suryadi dan kawan-kawan sempat ditahan dua bulan di Kantor Kodim. “Katanya, saya diamankan,” cerita Suryadi.

Persidangan itu  sendiri berlangsung semarak. Selama empat bulan, PN Baturaja sering dibanjiri pengunjung. Setiap persidangan, puluhan mobil dari Batumarta membanjiri halaman PN Baturaja. Itulah buah pembinaan masyarakat yang dilakukan Suryadi. Mereka bersimpati dan berempati pada gurunya. Tapi, penjara tidak membuat nyali dakwah Suryadi dan kawan-kawan menciut. Di dalam penjara, mereka justru menebar dakwah. Mereka mengajar mengaji dan mengenal banyak narapidana.

Alhamdulillah, santri-santri di Pesantren Luqmanul Hakim tidak berkurang. Suryadi tetap mengatur dan menandatangani surat-surat pesantren dari dalam penjara. Padahal, kata Suryadi, beberapa kali pesantrennya mengalami teror. “Kadangkala, malam-malam ada aparat datang menggedor-gedor  pintu gerbang pesantren,” tuturnya.

Bagaimana surat rahasia itu bisa jatuh ke aparat keamanan?

Ternyata Komandan Kodim Baturaja ketika itu seorang aktivis sebuah gereja. Dia memerintahkan agar surat itu diusut. Karena edaran itu dicetak, maka tidak terlalu sulit melacak ke beberapa percetakan di sekitar Batumarta. Ujungnya, arsip edaran itu ditemukan. Ditangkaplah Suryadi dan kawan-kawan. Pembelaan kepada mereka tidak mempan. Mereka harus dijebloskan ke penjara. [hidayatullah.com/bersambung]

Kamis, 02 Juni 2011

Tulisan di atas Pasir......

Dari Milis sebelah , Dikirim Oleh Pak Dhe Rochmat TF

Sebuah Kisah Tentang Sepasang Suami Istri Yang Sedang Berjalan Melintasi Gurun
Pasir
.

  

   Di tengah perjalanan, karena sesuatu hal, mereka bertengkar dan suaminya
menghardik istrinya dengan sangat keras..... Istri yang kena hardik, merasa
sakit hati, tapi tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir: HARI INI SUAMIKU MENYAKITI HATIKU.
Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis dimana mereka memutuskan
untuk mandi. Si Istri, mencoba berenang namun nyaris tenggelam dan berhasil
diselamatkan suaminya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya hilang dia
menulis disebuah batu : HARI INI SUAMIKU YG BAIK MENYELAMATKAN NYAWAKU.


Suami bertanya  : “Kenapa setelah aku melukai hatimu, kamu menulisnya diatas
pasir dan sekarang kamu menulis diatas batu?”

Istrinya sambil tersenyum menjawab: “Ketika hal buruk terjadi, aku harus
menulisnya diatas pasir agar ketika angin maaf datang berhembus dapat menghapus
tulisan itu ... Dan bila sesuatu yang luar biasa diperbuat suamiku, aku harus
memahatnya diatas batu hatiku, agar tidak bisa hilang tertiup angin".

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang
yang berbeda. Terkadang malah sangat menyakitkan, Oleh karenanya cobalah untuk
saling memaafkan dan lupakan masalah yg lalu.


Yang terpenting : Belajarlah untuk selalu BISA MENULIS DI ATAS PASIR untuk semua
hal yang menyakitkan dan selalu MENGUKIR DI ATAS BATU untuk semua KEBAIKAN ....

Semoga kita semua mengerti betapa berharganya sebuah "KELUARGA”.


Ok...Sahabat, kisah yang inspiratif semoga membawa kecerahan bagi kita. Janganlah kita fokus kepada kesalahan dan keburukan karena Ibarat Baju putih, jika ada noda hitam sekecil apapun maka kita akan fokus pada noda itu, sedangkan bila tak ada noda melekat kita tak pernah memperhatikan warna putih baju kita.