Biarkan air mata ini mengalir bersama dengan dosa-dosa yang teringat. Lelapkan semua kesemuan dunia yang hanya sementara. Bukalah sedikit matamu untuk melihat dunia yang abadi, telungkupkanlah tanganmu untuk memberi... Berikan senyummu agar orang lain merasakan kabahagiaanmu... mari lukis perasan hati mencintaiNya dengan keimanan dan ketakwaan. Bismillah...

Jumat, 23 Desember 2011

Teladan Sultan Hamengkubuwono IX

Keluhuran Budi dan Keluasan Hati 
Sri sultan Hamengku Buwono IX

Dari :Milis Muslim Group kiriman Bpk. Arie Boedi Istono Dept.MenRisk (dg Editing seperlunya)

    Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Becak Dan delman amat dominan masa itu , diawal pagi yang cerah persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan  membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak Dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap Polisi Royadin menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat Mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi Dan memberi hormat. “Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat-surat kendaraan berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat Kendaraan masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan pria berusia sekitar setengah abad yang berada didalam mobil menurunkan kaca samping secara penuh.

“Ada apa Pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , Brigadir Royadin mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main, namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar Sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.

  Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.

“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. Keringat dingin tiba-tiba terasa membasahi baju seragamnya.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .

“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” suaranya Brigadir Royadin terdengar pelan. Ia heran , sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara Dan Rajapun beliau tidak melakukannya.

“Baik..brigadir , kamu buatkan surat tilang itu , nanti saya ikuti aturannya, saya buru-buru harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar Royadin membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa Ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun  keluar dari Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya Dan Royadin menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya Dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin IA memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur Dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

  Saat aplusan di sore Hari dan kembali ke markas , Brigadir Royadin menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda Abu Abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya Dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur kowe..!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, Wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun ?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.

“ Siap Pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..Dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku banget, kok malah mbok tilang..ngawur ..Jan ngawur….Ini bisa panjang urusanya, bisa sampai Menteri !” kata  komisaris panjang lebar. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg (keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa Hari lamanya. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan Ada isu yang Ia dengar kalau dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” kata komisaris tegas. lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .

“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.

“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.

“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .

“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

  July 2010 , polisi Royadin menghadap kepada sang khalik . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya . Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat-erat yaitu ketegasan dan kejujuran .

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.....(seperti diceritakan oleh salah seorang keponakan Brigadir Royadin)

Jumat, 09 Desember 2011

Ora Tanggap Ing Sasmitho

Sesuk wae Yoo Dik…!!
Dening: Abu Majid

   1 Januari 2001, Nembe sewulan aku mboyong sisihanku menyang mBontang, Sejatine wingi aku wis matur marang keluarga besar yen pancen sisihanku isih arep nyambut gawe ing Magelang aku yo ora kabotan. Ananging budhe ora kerso,” Lha wis resmi dadi garwane kok malah ditinggal dhewe, yo kudu di gowo”, ature budhe kanthi teges.

  Aku isih lungguh ing emperan petrosea, naliko dumadakan ono lesus kang banter banget nerak barak sing di nggoni aku sak konco. Angin banter iku ngaburaké lêbu-lêbu lan godhong-godhong sing podho sumebar ing sak ngisore wit-witan sing ono ing sekitare barak. Pancen wis meh sewulan iki ora ono udan, jare mbontang iku ora nduweni musim, sak wayah-wayah iso wae ujug-ujug udan nggrejih. Mung wae saiki ono ing Indonesia umume pancen nembe musim kemarau, koyo-koyo musime wis ngowahi adad, wulan januari sing ateges hujan sehari-hari kok ora ono udan.
Bapak bengi mau nembe ngabari yen wis patang sasi ing njowo ora ono udan. Sawah garing, pari-pari podho langes. Soroté srêngéngé manggang sawah-sawah lan kebonan sing sansoyo garing. Tanpå ånå panènan. Persis koyo pirang taun kepungkur, naliko aku isih asring mbantu bapak ing sawah, wektu iku aku isih kuliah, saben ndino aku wajib menyang sawah sakwise mulih seko kampus. Musim ketigo ngenthang-enthang panase, sawah-sawah ora ono sing iso dipanen, ora ono banyu mili, pancen musim paceklik temenan. Yen wayah awan panase ngedhap-edhapi. Mego-mego putih kang ngaluk-aluk ing langit mlayu-mlayu kabur kegowo angin. Manuk emprit podho unjal, mebur-mebur seko wit pari siji nang sijine sajak bingung ora nemu pangan. Ora ono gabah sak-las-laso sing biso dithothol. Manuk blekok wondene kuntul trimo ngéyup ono ngisor turi. Sêbab prêcil-prêcil lan wadêr podho ndhêlik ono kêdhungan kalèn sing wis ora mili. Manuk êmprit siji mabur kêthip-kêthip dhuwur banget. Sakwisé nothol wêdhi sing dikiro gabah. Sajak kisinan dhewe.
                                                           ***
  Soko èmpèrané barak, aku nyawang kahanan ing sak ngarêpé barak. Sakpêndêlêng mung wit-witan sing wus podho mulai ketar-ketir ngadepi mongso kang ora pesti. Sepisan maneh lesus nyapu plataran petrosea. Angine ngobat-abitaké cêndhélo, ngonthang-anthingke lawange kamar mandi, natap-natap tembok pating jêdhèr. mboh koncho-koncho ki podho nang ngendhi. Sajak wegah klayapan awan-awan, tinimbang neng njobo kepanasen aluwung liyep-liyep ing ngisore kipas angin ing kamare dhewe-dhewe. Sajak do ora kelingan yen kesuwen keno kipas angin  pungkasane njur masuk angin.

“Ora sare tho Mas, kok malah liyep-liyep dhewe ning njobo?” ujug-ujug sisihanku njêdhul. Aku mung nyawang satléraman. Banjur nyawang balik sing ngilak-ilak iku manèh. Ing adhohan kétok lebu-lebu mabur-mabur di gowo angin ngêbaki pêndêlêng. Sisihanku banjur melu lungguh ing sisih kiwoku.
“Mas, aku pingin maem sate!” ujare karo sikile uthak-uthik. Aku mléngak sedhelo.
“Hé? Ngendhi ono sate ning Mbontang, aku rung tau weruh ki?” pitakonku rumongso aku pancen ora tau weruh wong bakul sate. Pancen sakjroning setaun ning mBontang aku arang banget mlaku-mlaku, kejobo durung nduweni kendaraan dhewe ugo aku kapitung wong kang ora seneng nglayap.
“Piyé tho Mas, sliramu iku? Gênah pirang-pirang dino aku ora doyan sêgo ngono kok. Ditembungi kepingin sate malah koyo kaget, opo ora nduwe dhuwit?”, sisihanku rodho cemberut.
“Aku ora ngêrti tênan lho, Dik! Sesuk wae yen aku ngerti ono ngendhi sing dodolan sate”, aku isih semoyo.
“Kêbangêtên Mas, awakmu iku. bojo mung njaluk ditukok ake sate kok di semayani! Gèk sing sampéyan gagas iku opo Mas?. Sisihanku isih nyobo karo ulat sing rodho peteng. “ Sorry Dik, aku ki isih mikir ngendhikane Bapak mau bengi kae lho, jare sawahe ora panen maneh. Sawahe malah garing- ring”, jawabku ngunjal ngen-ngen sing wiwit mau ono ing pikiranku. “ Mbok wis ora usah ngêronké sawahé waé. Piyé-piyéo wong lagi ora panèn. Rak ora ndhèwèki to Mas? mesthine kabeh yo podho ora panen tho?. Pasrah karo sing gawé gabah waé. Bapak iku biså gawé lêmuné pari, yo dipupuk lan di obati. Nanging Bapak  rak ora isa ndokoki isiné to, Mas?” Sisihanku malah njwab karo trengginas. Aku  manthuk alon, koyo lagi dituturi ustazah kaé. Sênajan Bapak wis nglênggono, yèn mongso rêndhêng sing nganti karo têngah taun ngêdhur iku ora mêsthi marakaké mbruwah.

   Sêtaun kêpungkur Bapak ngingoni pêdhèt têlung sasi biso nyandhak turahan rong yuto. Sebab akeh suket lan ramban kanggo nyadhong pangane. Sak iki, malah tibo paro waé ora. Pedhet mung dipakani damen turahan panen musim wingi. É, yo wis bali manèh pasrah karo sing ngatur rêjêki.
                                                            ******
   Kiro-kiro let sewulan sisihanku tambah ora karu-karuan, ora gelem nyawang sego, ora gelem mambu brambang, awake lemes, klentrak-klentruk wae. Aku banjur ngajak dheweke ning Rumah sakit sak perlu perikso.” Selamat ya Pak, Istri bapak positif” ature dhokter sinambi nulis resep. Aku njenggirat, “Maksud dhokter , istri saya positif hamil ?”.”Benar Pak, sudah jalan tiga minggu, bapak tidak melihat tanda-tandanya ?”. dhokter katon heran marang aku, ananging naliko nyawang aku sepisan maneh piyambake banjur ngendhiko” Oh..Bapak pasangan muda ya, jadi belum paham tanda-tanda kalau istrinya hamil”. Dhokter tansah manggut-manggut, tanpo ngenteni jawabanku.
Sak kal aku banjur kèlingan tingkahe sisihanku wektu-wektu iki, “o alah dingapuro yo dhik, jebul sliramu ki nyidam tho”, bathinku isin dhewe. Seneng ?, yo mesti bangete. Sênêng lantaran aku énggal bakal nduwé momongan. Momongan bakal nyambung sêjarahé awak’e dhewe ing mayopodo. Bukti yèn aku ki lanang tênan. Ora mung lanang-lanangan.  Olèhé nyênyuwun yo wis kêporo sakwêtoro. Géné kabul, opo iyo yèn ora seneng banget.
“Mas, kok malah mênêng waé to, kok mesam-mesem dhewe?” pitakone sisihanku naliko wis ning Apotik.
Aku  njênggèlèk soko angên-angên sing ndak ulur-lur, koyo-koyo ora pingin keganggu liyan.
“Lha njaluk piyé hé, Dik? Yo syukur Alhamdulillah tho. Aku ya wis kêpéngin krungu tangisé bayi ono tengah-tengahe awaké dhéwé iki. Ayo dimêmpêngi olèhé ngibadah mugo-mugo lêstari. Lan samongso-mongso têkan lairé si jêbang bayi ora ono alangan opo-opo. Mbésuk yèn wis gêdhé dadiyo bocah sing utomo. Piguno tumrap wong tuwo, kulowargo, nêgoro lan agomo, mugo-mugo dadi direktur Pupuk Kaltim.....”
Wis..wis, aku ora wareg krungu khutbah sampeyan Mas...” Sisihanku mbesengut, ngambeg. “We lha..kene ngecepres kok malah ditanggapi karo mbesengut”, aku nyoba nggoda sisihanku.
“Malah sêsorah! Aku iki kêpéngin anu lho, Mas!”
“Kêpingin opo dhik?, kondho o, Ya gênah bakal takgolèkaké tho, Dik. Ning isih panasé koyo ngéné jaré. Mêngko yèn wis êdhum-êdhum kono takgolèkaké, yo...” kondhoku ndadrah. “Ora Mas, aku pengin mulih Magelang..”, sisihanku ora noleh blas.” Lho..lho, nengopo tho, kok malah aneh-aneh “ kandaku ora ngerti.
Tak wangsuli mangkono sisihanku maklêrot. Rainé kêmbêng-kêmbêng kringêt soko njêro awak. Sênajan angin musim kêtigo nampêr-nampêr. Mbok mênowo kêdêrêng soko pêpingénané iku. Ditambah karo roso jengkel sing banget marang aku. Banjur njalari kringêtên.
“ Yo, yen aku ning Magelang, nyuwun opo wae mesti ibu enggal-enggal nggolekake, ora sah kok ngenteni sesuk. lha mung di sambati sate kambing sing regane mung piro kok ora mbok turuti…” sisihanku dadi sesenggukan. “ O alaahh Dhik, dingapuro yo kangmasmu iki, aku ki saking banget senengku, dadi lali kabeh, aku yo ora ngiro yen pepinginanmu telung minggu kepungkur iku jebul kekarepane jabang bayi….” Aku banjur ngrangkul pundake sisihanku kanthi mesra...(he..he..). Éwådéné sisihanku, gandhèng wis kêporo suwé olèhé ngangên-angên awan iku diwanèk-wanèkaké kondho bloko suto marang aku.
“Yo Wis mengko gek ndang tak golekake sate ne, yo saiki ndang mulih, panase njingglang tenan…”ujarku karo ngegarke payung warno biru sing wiwit mau tak cangking.
“ Mas aku isih kêpingin liyane ?” ature sisihanku isih durung mingset. “ Opo tho Dhik, mengko sisan tak tukok ake” kandaku semangat (banget lho ).” Pingin pelem po dondong, tak jalukke ning BTN akeh. Sêpiro to rêkasané wong golèk dhondhong utowo pelem.”
“Dudu kuwi, Mas?”
“Lha terus opo, aturno?",  Jawabku kanthi penasaran banget
“Dudu! Dondong utowo pelem, nggo opo kecut-kecutan ?”
“Lha opo? Wong nyidam umume yo njaluk kecut-kecutan tho, opo  nyidham gêlang utowo kalung ?" aku setengah ngguyoni. “Mas-mas, sliramu iku dadi wong lanang kok ora mudhêng karêpé wong wédok. Nyidham sêpisan waé kok kayané ora arêp keturutan.”
“Sopo sing ora arêp nuruti? Sliramu nyidham apa hé, Dik? Kondho o! opo niyat aku arêp sélak. Anggêré ora njaluk lintang lan rêmbulan...(hik..hik )”
Sisihanku unjal ambêgan landhung. Koyo patrapé ambêgane wong  anggêr wis kêsêl caturan, kesel padudon. Karêbèn nêmu coro sing pas kanggo bloko lan nyuntak roso mangkele marang  Aku. Dhèwèké nyawang  aku manèh. Sajak pancen ngêmu pênjaluk sing kuwat. Sajak éwo, gemes marang wong lanang sing ora tau duwé kawigatèn sing luwih. Kamongko wis sêprånå-sêpréné bojone ‘berkelakuan aneh’.
 “Lha kowé kêpingin opo, hé, Dik. Mbok ojo nganèh-anèhi to!”
“ Kok nganeh-anehi tho Mas, Iki dudu karêpku dhéwé, ning karêpé bayimu iki!”
“Lha iyo, opo?”, aku tansoyo penasaran kae. Dheweke banjur luwih nyedhak karo semu gethem-gethen gregeten.
“Êêng… anu, Mas, nyedhak o tak bisiki. Aku… aku nyidham sliramu dadi koruptor, ben sugih …!”ujare sisihanku karo nggendring pinuju petrosea.
Aku mung gèdhèg-gèdhèg , nggaruk sirah sing ora gatel. Njur nek koyo aku iki opo sing arep dikorupsi. Ono-ono wae guyonane sisihanku iku. Aku banjur enggal-enggal nyusul sisihanku sing wis rodho adhoh mlakune. Oalah...jebul sak suwene telung minggu iki sisihanku ora mung aleman tho.............( Abu Majid )

Petrosea memori 10 tahun yang lalu......
****