By. Abu Majid ( Dari berbagai sumber )
Ibnu Abbas adalah seorang yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. Kendati kemudian ia ditinggal wafat Rasulullah masih dalam usia belasan tahun, Ibnu Abbas toh mampu berkembang menjadi insan pilihan. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasulullah.
Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Sungguh luar biasa, dari kecilnya, Ibnu Abbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil. Sambil menepuk-nepuk bahunya Rasulullah mendoakannya, “Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”
Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan di mana Rasulullah mengulang-ngulang do’a nya bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu. Dan ketika itu, mengertilah Abdulloh bin Abbas bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini.
Ketika Rasulullah wafat umurnya belum lagi lebih tiga belas tahun, tetapi dari kecil tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majelis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkan.
Setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A’la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari sahabat-sahabat Rasul yang pertama apa-apa yang luput didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah sendiri. Suatu tanda tanya (rasa ingin tahu) terpatri dalam pribadinya.
Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer dan tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap pengumpulan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.
Pernah ia menceritakan pengalamannya, “Pernah aku bertanya kepada tiga puluh orang sahabat Rasul mengenai satu masalah.” Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkan sebagai berikut “Tatkala Rasulullah wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: “Marilah kita bertanya kepada sahabat Rasulullah. Sekarang ini mereka hampir semuanya sedang berkumpul?”Jawab pemuda Anshar itu, “Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat sahabat Rasulullah ?” Demikianlah mereka tak mau di ajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah.
“Pernah aku mendapatkan satu hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya. Saat itu ia kebetulah sedang tidur siang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: “Hai hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?” “Tidak!” ujarku, “bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda!” Kemudian kutanyakan sebuah hadits dan aku belajar daripadanya!”
Pemuda Abbas yang agung ini bertanya dan bertanya terus. Lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang brilian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh. Hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul mu’minin Umar bin Khaththab ra menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting.
Pada suatu hari ditanyakan kepadanya “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Jawabnya, “Dengan lidah yang gemar bertanya dan akal yang suka berfikir!”
Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan kepandaiannya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai manusia pilihan.
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas melukiskannya begini:
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas melukiskannya begini:
“Tak seorangpun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik. Padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!”
Seorang muslim penduduk Bashrah (Ibnu Abbas pernah menjadi Gubernur di sana , diangkat oleh Ali) melukiskannya pula sebagai berikut: “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara; menarik hati pendengar apabila ia berbicara, memperhatikan setiap ucapan pembicara, memilih yang teringan apabila memutuskan perkara dan menjauhi sifat mengambil muka, menjauhi orang-orang yang rendah budi, menjauhi setiap perbuatan dosa.
Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran istimewa. Alasan yang dikemukakannya bagai cahaya matahari, menembus kalbu menghidupkan iman.
Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran istimewa. Alasan yang dikemukakannya bagai cahaya matahari, menembus kalbu menghidupkan iman.
Dalam percakapan atau dialog, tidak saja membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara.
Ibnu Abbas telah lama ditakuti oleh kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam. Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah percakapan yang mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan:
Tanya Ibnu Abbas, “Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali?” Ujar mereka, “
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya, “Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam agama Allah, apa salahnya? Bukankah Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakim!” (QS.Al-Maidah: 95)
“Nah, atas nama Allah cobalah jawab: Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?”
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lalu menutupi muka mereka dengan tangan. Sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ke tiga, “Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah! Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah” Tiba-tiba utusan Quraisy menyela, “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentu kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu! Maka tulislah: “Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!” Kata Rasulullah kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tidak hendak mengakuinya!” Lalu kepada penulis surat itu diperintahkan, “Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis! Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!”
Demikianlah dengan cara menarik dan menakjubkan berlangsung tanya jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij. Belum lagi tukar pikiran selesai, dua puluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali!”
Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi. Yakni etika ilmu serta akhlaq para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat kepemurahannya, ia bagaikan Imam dengan panji-panjinya.
Disamping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenal atau tidak, beroleh kebaikan.
“Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui ini. Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutuskan sesuatu perkara dengan adil maka aku merasa gembira dan turut mendo’akannya, padahal tak ada hubungan perkara antara aku dengannya. Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi kaum muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekorpun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut!” Demikian kata Ibnu Abbas perihal dirinya.·
Ibnu Abbas wafat di Thaif pada tahun 78 Hijriyah dalam usia 81 th. Yang menshalati beliau dan sekaligus menjadi Imam, adalah Muhammad bin Hunaifah, beliau pula yang memasukkan ke dalam kuburnya.
Disebutkan pula dalam Siyar al-‘Alam an-Nubala’. Hadits yang diriwayatkan Thabrani menerangkan, bahwa Ibnu Jubair menceritakan, saat Ibnu Abbas wafat di Thaif, kami menyaksikan jenazahnya, maka tiba-tiba kami melihat burung putih datang yang tidak diketahui bentuk dan wujudnya. Kemudian masuk kedalam keranda mayat Ibnu Abbas. Kami memandang keranda itu dan berfikir apakah burung tersebut akan keluar, ternyata burung tersebut tidak diketahui keluarnya dari keranda mayat itu. Dan saat mayat telah dimakamkan tiba-tiba ditepi kuburan Ibnu Abbas terdengar suara bacaan ayat al-Quran surat al-Fajr 27 -30.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku” (QS al-Fajr 27-30).
Orang –orang semakin tertegun karena Suara itu tidak diketahui siapakah yang membacanya. wallahu A’lam bisshowab..........(nn/Abu Majid)