Biarkan air mata ini mengalir bersama dengan dosa-dosa yang teringat. Lelapkan semua kesemuan dunia yang hanya sementara. Bukalah sedikit matamu untuk melihat dunia yang abadi, telungkupkanlah tanganmu untuk memberi... Berikan senyummu agar orang lain merasakan kabahagiaanmu... mari lukis perasan hati mencintaiNya dengan keimanan dan ketakwaan. Bismillah...

Rabu, 02 April 2014

Odoj Vs Bid'ah

One Day One Juz : Bid’ah?

Oleh : Armansyah

Jujur sebenarnya saya enggan untuk menulis artikel ini karena buat saya pribadi rasanya agak berlebihan bila hal seperti ini saja menjadi sesuatu yang kontroversi. Tapi karena kemudian banyak juga pertanyaan yang masuk kepada saya berkaitan hukum mengikuti aktivitas “One Day One Juz” atau yang biasa disingkat ODOJ akibat adanya pandangan miring serta cap bid’ah oleh sejumlah kelompok yang ekstrim dalam agama ini, akhirnya dengan mengucap Bismillah, saya tulis juga dengan harapan semoga bermanfaat untuk semua.
Ikhwan wa Ukhtifillah  rahmatullah ‘alaikum….
Istilah ibadah yang sering kita sebut dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, عُبُودَة، عُبُودِيَّة، عَبْدِيَّة (‘Abdiyah, ‘Ubudiyah, ‘Ubudah) yang memiliki arti kepatuhan atau ketundukan. Istilah ini juga memiliki pengertian yang sama dalam bahasa Ibrani “Abodah” yang artinya mengabdi.
Tunduk ya artinya merendahkan diri serta mengikuti kehendak sesuatu atau seseorang yang kedudukannya ada diatasnya. Dalam terminologi syara’ atau fiqh, maka yang disebut sebagai ibadah mencakup aktivitas lisan, hati dan perbuatan fisik anggota tubuh yang dilakukan dalam rangka mencari ridho Allah yang didalamnya terdapat rasa khouf (takut), roja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan) dan roghbah (senang). Intinya, semua dilakukan sebagai bentuk abdi atau penghambaan makhluk kepada Allah selaku al-Kholiq.
Inilah memang yang menjadi hakekat dasar penciptaan manusia.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ 
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Istilah ibadah menjadi istilah yang sangat umum sifatnya, sehingga kemudian para ulama membagi aktivitas ibadah menjadi dua kategori, yaitu ibadah mahdhoh dan ada pula ibadah ghoiru mahdhoh
Maksud dari ibadah mahdhoh adalah aktivitas ibadah yang cara pelaksanaannya maupun waktu-waktunya secara khusus telah ditentukan atau diatur oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya. Misalnya Sholat, Puasa, Haji, Dzakat, Berwudhu dan seterusnya.
Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh adalah aktivitas ibadah yang cara dan waktu pelaksanaannya tidak baku, saklek atau pasti. , namun tetap ada syari’at yang menjadi landasan perbuatannya. Hal ini bisa dicontohkan seperti melakukan sedekah secara umum diluar dzakat, silaturahim, berdzikir, berdakwah, mengajar, gotong-royong dan ibadah mu’amalah lain yang inti tujuannya tetap untuk ber-taqorrub ilallah dan mencariridhotillah.
Kesalahan yang sering terjadi adalah kita acapkali merancukan antara ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh sehingga penjatuhan hukumnyapun menjadi keliru. Sebagai konsekwensi kekeliruan pemberian hukum ini muncullah kontroversi dan kekacauan ditengah umat, khususnya kalangan akar rumput yang masih belajar. 
Timbullah fatwa-fatwa yang tidak populer dengan menyebutkan aktivitas tertentu sebagai perbuatan bid’ah. Sedikit-sedikit bid’ah dan ujung-ujungnya di cap sebagai kafir sebab dimunculkan anggapan pelakunya melakukan kekufuran atas syariat.

Ya disini saya tidak ingin menyebut nama kelompok atau jemaah tertentu yang sering secara ekstrim dan serampangan melakukan hal-hal seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Saya berusaha menghindari konflik yang tidak perlu namun tetap bersifat keras dan tegas.
Jadi bila ada kelompok, komunitas, jemaah ataupun sekte yang merasa tersinggung dengan tulisan saya serta pemahaman saya dalam beragama ini, mohon maaf lahir dan batin sajalah. Tak perlu ribut dan saling memaksakan paham. Jika anda setuju ya silahkan ikuti tapi bila tidak suka, ya lakukanlah apa yang menurut anda sebagai suatu kebenaran. Nafsi-nafsi intinya.
Balik lagi pada ibadah ghoiru mahdhoh, tentu ada kriteria serta batasannya juga yang wajib diketahui sehingga tidak terjebak pada perbuatan bid’ah yang sesungguhnya. Diantaranya adalah:
Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghoiru mahdhoh tadi. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang atau mengharamkan aktivitas itu maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
Model, cara, pola ataupun bentuk pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu harus persis sama seperti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana diketahui melalui banyak riwayat hadist dan siroh nabawiyah. Misalnya, cara berinfaq, bersedekah, penggunaan media dakwah, proses serta metode belajar-mengajar, berdzikir dan lain sebagainya.
Ibadah yang dilakukanitu haruslah aktivitas yang sifatnya logis, rasional atau dapat dipahai secara akal sehat. Sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, benar atau salah, bermanfaat atau mengandung mudharat, semuanya dapat dilihat dan ditimbang secara langsung tanpa harus ada perdebatan dikalangan orang-orang yang berakal. 
Nah, rasanya sebagai pengantar cukuplah sampai disini bahasan tentang ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Kita masuk dalam inti permasalahan yang hendak dibahas yaitu hukum pelaksanaan pengajian al-Qur’an dengan metode: One Day One Juz.
ODOJ
Apakah ODOJ ini masuk dalam klasifikasi ibadah mahdhoh ataukah ghoiru mahdhoh? 
Adakah cara-cara membaca al-Qur’an diatur secara khusus dalam nash syar’iat? maka jawabnya ada, bahkan dalilnya jelas, tegas dan kuat dari kitabullah. Maka dari itu hukum cara mengaji dengan pengertian disini membaca huruf-huruf al-Qur’an masuk kedalam ibadah mahdhoh.
Allah berfirman:
“Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (QS Al Muzzammil 73:4)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah membaca dengan perlahan-lahan dan hati-hati karena hal itu akan membantu pemahaman serta perenungan terhadap al-Qur’an. Membaca tartil juga pada tingkatan lebih jauh dapat dimaknai dengan memahami makhorijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan) hingga ahkamul waqof wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan) yang semua itu tercakup dalam ilmu tajwid.
Dalam ayat lain disebutkan juga:
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an.” (QS Thaha 20:114)
Ada juga beberapa riwayat bercerita:
Sunan Abu Daud 1252: Telah menceritakan kepada Kami Musaddad telah menceritakan kepada Kami Yahya dari Sufyan, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim bin Bahdalah dari Zirr dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur’an: “Bacalah, dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (jangan terburu-buru), sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.”
Sunan Abu Daud 1258: Telah menceritakan kepada Kami Abdul A’la bin Hammad, telah menceritakan Abdul Jabbar bin Al Ward, ia berkata; saya mendengar Ibnu Abu Mulaikah berkata; Ubaidullah bin Abu Yazid berkata; Abu Lubabah lewat didepan Kami, lalu Kami mengikutinya hingga dia masuk ke rumahnya dan Kamipun masuk menemuinya, ternyata ia adalah seorang laki-laki perabotan rumahnya sedikit dan kondisinya memburuk, kemudian aku mendengar dia berkata; aku mendengar Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Bukan dari golongan Kami orang yang tidak memperindah bacaan Al Qur’an.” Abdul Jabbar berkata; aku bertanya kepada Ibnu Abu Malikah; wahai Abu Muhammad, bagaimana pendapatmu apabila ia tidak bagus suaranya? Ia menjawab; ia perindah suaranya semampunya. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al Anbari, ia berkata; Waki’ dan Ibnu ‘Uyainah berkata; yaitu ia menyibukkan dengan Al Qur’an.
Sunan Nasa’i 1640: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Ibnu Syihab dari As Saib bin Yazid dari Al Muththalib bin Abu Wada’ah dari Hafshah dia berkata; “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sunnah sambil duduk, hingga menjelang setahun sebelum beliau wafat, (saat itu) beliau sering shalat sambil duduk, membaca surah Al Qur’an dengan tartil, sampai-sampai beliau memperlama dalam membacanya.” 
Jadi ada dua hal yang diatur oleh Allah melalui kitab-Nya mengenai membaca al-Qur’an yaitu harus tartil dan tidak boleh terburu-buru. Hal ini bisa kita pahami karena al-Qur’an berfungsi sebagai al-Huda, hudan lil muttaqin, petunjuk bagi orang yang bertaqwa pada Allah. Jika membacanya serampangan asal jadi saja, bagaimana mungkin al-Qur’an dapat menjadi petunjuk dan pedoman?
Yang ada kita justru menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai mantra alakadzam. :-)
Oke insyaAllah dapat dipahami ya sejauh ini….
Sekarang, bagaimana dengan metode tilawah One Day One Juz? dimana setiap orang dari anggotanya atau member dipaksakan untuk mengkhatamkan setiap harinya satu, one, (1) juz ? setelah khotam kemudian setiap orang melapor dengan aplikasi WhatsApp sehingga pada hari itu ke-30 anggota masing-masing khotam 1 juz al-Qur’an dan ditotal secara keseluruhan khotam 30 juz setiap hari. Apakah ini tidak menyalahi contoh Nabi? Bukankah ini Bid’ah?
Nah jawabnya balik dulu nih… diluar tata cara membaca al-Qur’an yang sudah kita bahas tadi, adakah sekarang ini metode tilawahan komunitas One Day One Juz alias ODOJ itu masuk dalam kategori ibadah mahdhoh ataukah ghoiru mahdhoh?
Setahu saya, Rasul tidak pernah memberi “aturan main” secara detil mengenai metode teknis pengkhotaman kitabullah. Jadi dengan kata lain, sifatnya fleksibel. Artinya ini masuk dalam wilayah ibadah ghoiru mahdhoh.
Bid’ahkah?
Sst, nanti dulu main bid’ah ini… yuk baca dulu riwayat berikut:
Sunan Tirmidzi 2870: Dari Abu Burdah dari Abdullah bin ‘Amru ia berkata; Aku berkata; “Wahai Rasulullah, seberapa lama aku harus menghatamkan al-Qur’an?” Beliau menjawab: “Khatamkan setiap bulan.” Aku berkata; “Aku bisa lebih mampu dan lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam duapuluh hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam limabelas hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam sepuluh hari.” Aku berkata; “Aku dapat lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam lima hari.” Abdullah berkata; “Setelah itu beliau tidak memberiku keringanan.”
Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih, dinilai gharib dari hadits Abu Burdah dari Abdullah bin ‘Amru. Hadits ini juga diriwayatkan melalui sanad lain dari Abdullah bin ‘Amru.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah dapat memahaminya orang yang membaca (mengkhatamkan) al-Qur’an kurang dari tiga hari.” Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padanya: “Bacalah (khatamkan) al-Qur’an dalam empatpuluh hari.” Ishaq bin Ibrahim berkata; “Berdasarkan hadits ini, maka kami tidak suka bila empatpuluh hari berlalu dari seseorang, sementara dirinya belum pernah mengkhatamkan al-Qur’an. Sebagaian ulama menyatakan bahwa al-Qur’an tidak dihatamkan kurang dari tiga hari, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara sebagaian ulama yang lain memberi keringanan dalam hal ini. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwa ia menghatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat witir.” Diriwayatkan dari Sa’ii bin Jubair, bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat di (samping) ka’bah. Dan para ulama lebih menyukai membaca secara tartil.
Dari riwayat diatas jelas kita tidak dapat menyalahkan metode ODOJ yang mengkhatamkan al-Qur’an satu juz setiap membernya dalam satu hari. Terlalu lemah dan pagi untuk membatilkannya sementara ada nash agama yang mencondonginya. Saya percaya bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Saya juga percaya bila aktivitas ODOJ, selama memperhatikan aturan main pembacaan al-Qur’an, bukanlah merupakan ibadah yang sia-sia atau bid’ah.
Pelaksanaan ODOJ justru dapat disebut sebagai penemuan baru dalam aktivitas pengkhotaman kitabullah dikalangan muslim. Selain itu, konsekwensi positip yang juga tidak dapat ditolak adalah unsur silaturahim antar ikhwan dan ukhtifillah sekaligus cara mendekatkan umat pada kitabullah.
Problem umat Islam sekarang ini sangatlah kompleks dan jangan hal itu dinafikan dengan membid’ahkan segala sesuatu yang tak sepaham dengan pemikiran dan paradigma kita. Generasi muda Islam hari ini, terutama mereka yang tinggal di perkotaan, sudah cukup jauh dari al-Qur’an. Mereka lebih dekat pada musik dan sinetron serta film-film barat yang penuh dengan action dan seksualitas.
ODOJ menjadi alternatif cara mendekatkan kembali generasi muda Islam pada al-Qur’an, dari dekat mudah-mudahan timbul senang dan cinta. Dari sini mudah-mudahan lagi bi-idznillah, mereka akan tergiring untuk memahami lalu mengamalkan isinya.
Akhirnya, hukum mengikuti One Day One Juz adalah tidak terlarang apalagi menjadi Bid’ah, kecuali anda melakukannya dalam toilet atau sambil berzinah.
Musnad Ahmad 22201: Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Jarir telah bercerita kepada kami Hisyam bin Hassan dari Muhammad dari Abu ‘Ubaidah bin Hudzaifah dari Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa memberi contoh kebaikan dan diikuti orang, ia mendapatkan pahalanya dan pahala-pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun, sebaliknya barangsiapa memberi contoh keburukan lalu diikuti orang, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dosa mereka sedikitpun.”
Tapi pak, kebanyakan para Odojers malah mengajinya sendiri-sendiri ditempat mereka dan tidak ada orang yang menjadi supervisor atau mengawasi bacaannya sehingga kecenderungan salah baca secara tajwid tetap terbuka. 
Oke, saya paham dan dapat menerima argumen ini. Memang semestinya kita membaca al-Qur’an dengan tartil tadi khan? Tapi untuk tahap awal, mari azamkan dulu metode ODOJ ini sebagai bentuk pendekatan awal pada tahapan selanjutnya dalam membaca al-Qur’an. Biasakan dulu lidah kita basah oleh ayat-ayat-Nya. Apalagi kita juga adalah bangsa ‘Ajam, orang yang asing dalam berbicara bahasa Arab. Setelah biasa membaca huruf-huruf hijaiyyahnya baru kita baguskan bacaan tersebut.
Lalu bagaimana dengan kemungkinan ibadah ini menjadi riyak pak?
Nah, jawabnya… biar puas baca tulisan saya khusus tentang riyak saja ya.
Bismillah.
Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis dan memiliki sandaran dalil yang kokoh.
Setuju dan tidak setuju adalah hal yang wajar terjadi, saya tidak harus selalu sependapat dengan anda atau siapapun dalam memahami agama Allah ini. 
Least but not Last, harus dimaklumi pula bila ODOJ pada hakekatnya hanyalah salah satu metode untuk mendekatkan umat pada al-Qur’an. Membiasakan umat untuk membaca al-Qur’an. Membiasakan lidah-lidah kaum ‘ajam ini untuk melantunkan huruf-huruf hijaiyyah yang tak biasa diucap oleh lisan-lisan mereka. 
Pada tataran lebih jauh, ODOJ cuma opsional. Para santri di pesantren misalnya, mereka sudah masuk dalam tahapan mengkaji bukan lagi mengaji. Bacaan mereka sudah bukan lagi satu juz sehari tapi sudah berjuz-juz dalam tiap waktunya, bahkan boleh jadi mereka sudah masuk dalam metode penghafidzan al-Qur’an. Jadi bila kita merasa tingkat interaksi kita terhadap kitabullah sudah pada tatanan mengkaji, ya ODOJ bisa saja sangat opsional sifatnya. 
Faya ayyuhalmuslimuunal kirom.
Usikum Wa Iyyaya Bi Taqwallah wa akhussukum ‘ala tho’atihi.
Faqod Fazal Muttaqun.
Palembang, 24 Pebruari 2014

Mgs. Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan
#Anggota ODOJ 505