Biarkan air mata ini mengalir bersama dengan dosa-dosa yang teringat. Lelapkan semua kesemuan dunia yang hanya sementara. Bukalah sedikit matamu untuk melihat dunia yang abadi, telungkupkanlah tanganmu untuk memberi... Berikan senyummu agar orang lain merasakan kabahagiaanmu... mari lukis perasan hati mencintaiNya dengan keimanan dan ketakwaan. Bismillah...

Jumat, 23 Desember 2011

Teladan Sultan Hamengkubuwono IX

Keluhuran Budi dan Keluasan Hati 
Sri sultan Hamengku Buwono IX

Dari :Milis Muslim Group kiriman Bpk. Arie Boedi Istono Dept.MenRisk (dg Editing seperlunya)

    Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Becak Dan delman amat dominan masa itu , diawal pagi yang cerah persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan  membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak Dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap Polisi Royadin menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat Mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi Dan memberi hormat. “Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat-surat kendaraan berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat Kendaraan masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan pria berusia sekitar setengah abad yang berada didalam mobil menurunkan kaca samping secara penuh.

“Ada apa Pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , Brigadir Royadin mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main, namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar Sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.

  Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.

“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. Keringat dingin tiba-tiba terasa membasahi baju seragamnya.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .

“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” suaranya Brigadir Royadin terdengar pelan. Ia heran , sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara Dan Rajapun beliau tidak melakukannya.

“Baik..brigadir , kamu buatkan surat tilang itu , nanti saya ikuti aturannya, saya buru-buru harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar Royadin membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa Ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun  keluar dari Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya Dan Royadin menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya Dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin IA memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur Dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

  Saat aplusan di sore Hari dan kembali ke markas , Brigadir Royadin menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda Abu Abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya Dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur kowe..!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, Wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun ?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.

“ Siap Pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..Dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku banget, kok malah mbok tilang..ngawur ..Jan ngawur….Ini bisa panjang urusanya, bisa sampai Menteri !” kata  komisaris panjang lebar. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg (keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa Hari lamanya. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan Ada isu yang Ia dengar kalau dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” kata komisaris tegas. lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .

“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.

“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.

“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .

“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

  July 2010 , polisi Royadin menghadap kepada sang khalik . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya . Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat-erat yaitu ketegasan dan kejujuran .

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.....(seperti diceritakan oleh salah seorang keponakan Brigadir Royadin)

Jumat, 09 Desember 2011

Ora Tanggap Ing Sasmitho

Sesuk wae Yoo Dik…!!
Dening: Abu Majid

   1 Januari 2001, Nembe sewulan aku mboyong sisihanku menyang mBontang, Sejatine wingi aku wis matur marang keluarga besar yen pancen sisihanku isih arep nyambut gawe ing Magelang aku yo ora kabotan. Ananging budhe ora kerso,” Lha wis resmi dadi garwane kok malah ditinggal dhewe, yo kudu di gowo”, ature budhe kanthi teges.

  Aku isih lungguh ing emperan petrosea, naliko dumadakan ono lesus kang banter banget nerak barak sing di nggoni aku sak konco. Angin banter iku ngaburaké lêbu-lêbu lan godhong-godhong sing podho sumebar ing sak ngisore wit-witan sing ono ing sekitare barak. Pancen wis meh sewulan iki ora ono udan, jare mbontang iku ora nduweni musim, sak wayah-wayah iso wae ujug-ujug udan nggrejih. Mung wae saiki ono ing Indonesia umume pancen nembe musim kemarau, koyo-koyo musime wis ngowahi adad, wulan januari sing ateges hujan sehari-hari kok ora ono udan.
Bapak bengi mau nembe ngabari yen wis patang sasi ing njowo ora ono udan. Sawah garing, pari-pari podho langes. Soroté srêngéngé manggang sawah-sawah lan kebonan sing sansoyo garing. Tanpå ånå panènan. Persis koyo pirang taun kepungkur, naliko aku isih asring mbantu bapak ing sawah, wektu iku aku isih kuliah, saben ndino aku wajib menyang sawah sakwise mulih seko kampus. Musim ketigo ngenthang-enthang panase, sawah-sawah ora ono sing iso dipanen, ora ono banyu mili, pancen musim paceklik temenan. Yen wayah awan panase ngedhap-edhapi. Mego-mego putih kang ngaluk-aluk ing langit mlayu-mlayu kabur kegowo angin. Manuk emprit podho unjal, mebur-mebur seko wit pari siji nang sijine sajak bingung ora nemu pangan. Ora ono gabah sak-las-laso sing biso dithothol. Manuk blekok wondene kuntul trimo ngéyup ono ngisor turi. Sêbab prêcil-prêcil lan wadêr podho ndhêlik ono kêdhungan kalèn sing wis ora mili. Manuk êmprit siji mabur kêthip-kêthip dhuwur banget. Sakwisé nothol wêdhi sing dikiro gabah. Sajak kisinan dhewe.
                                                           ***
  Soko èmpèrané barak, aku nyawang kahanan ing sak ngarêpé barak. Sakpêndêlêng mung wit-witan sing wus podho mulai ketar-ketir ngadepi mongso kang ora pesti. Sepisan maneh lesus nyapu plataran petrosea. Angine ngobat-abitaké cêndhélo, ngonthang-anthingke lawange kamar mandi, natap-natap tembok pating jêdhèr. mboh koncho-koncho ki podho nang ngendhi. Sajak wegah klayapan awan-awan, tinimbang neng njobo kepanasen aluwung liyep-liyep ing ngisore kipas angin ing kamare dhewe-dhewe. Sajak do ora kelingan yen kesuwen keno kipas angin  pungkasane njur masuk angin.

“Ora sare tho Mas, kok malah liyep-liyep dhewe ning njobo?” ujug-ujug sisihanku njêdhul. Aku mung nyawang satléraman. Banjur nyawang balik sing ngilak-ilak iku manèh. Ing adhohan kétok lebu-lebu mabur-mabur di gowo angin ngêbaki pêndêlêng. Sisihanku banjur melu lungguh ing sisih kiwoku.
“Mas, aku pingin maem sate!” ujare karo sikile uthak-uthik. Aku mléngak sedhelo.
“Hé? Ngendhi ono sate ning Mbontang, aku rung tau weruh ki?” pitakonku rumongso aku pancen ora tau weruh wong bakul sate. Pancen sakjroning setaun ning mBontang aku arang banget mlaku-mlaku, kejobo durung nduweni kendaraan dhewe ugo aku kapitung wong kang ora seneng nglayap.
“Piyé tho Mas, sliramu iku? Gênah pirang-pirang dino aku ora doyan sêgo ngono kok. Ditembungi kepingin sate malah koyo kaget, opo ora nduwe dhuwit?”, sisihanku rodho cemberut.
“Aku ora ngêrti tênan lho, Dik! Sesuk wae yen aku ngerti ono ngendhi sing dodolan sate”, aku isih semoyo.
“Kêbangêtên Mas, awakmu iku. bojo mung njaluk ditukok ake sate kok di semayani! Gèk sing sampéyan gagas iku opo Mas?. Sisihanku isih nyobo karo ulat sing rodho peteng. “ Sorry Dik, aku ki isih mikir ngendhikane Bapak mau bengi kae lho, jare sawahe ora panen maneh. Sawahe malah garing- ring”, jawabku ngunjal ngen-ngen sing wiwit mau ono ing pikiranku. “ Mbok wis ora usah ngêronké sawahé waé. Piyé-piyéo wong lagi ora panèn. Rak ora ndhèwèki to Mas? mesthine kabeh yo podho ora panen tho?. Pasrah karo sing gawé gabah waé. Bapak iku biså gawé lêmuné pari, yo dipupuk lan di obati. Nanging Bapak  rak ora isa ndokoki isiné to, Mas?” Sisihanku malah njwab karo trengginas. Aku  manthuk alon, koyo lagi dituturi ustazah kaé. Sênajan Bapak wis nglênggono, yèn mongso rêndhêng sing nganti karo têngah taun ngêdhur iku ora mêsthi marakaké mbruwah.

   Sêtaun kêpungkur Bapak ngingoni pêdhèt têlung sasi biso nyandhak turahan rong yuto. Sebab akeh suket lan ramban kanggo nyadhong pangane. Sak iki, malah tibo paro waé ora. Pedhet mung dipakani damen turahan panen musim wingi. É, yo wis bali manèh pasrah karo sing ngatur rêjêki.
                                                            ******
   Kiro-kiro let sewulan sisihanku tambah ora karu-karuan, ora gelem nyawang sego, ora gelem mambu brambang, awake lemes, klentrak-klentruk wae. Aku banjur ngajak dheweke ning Rumah sakit sak perlu perikso.” Selamat ya Pak, Istri bapak positif” ature dhokter sinambi nulis resep. Aku njenggirat, “Maksud dhokter , istri saya positif hamil ?”.”Benar Pak, sudah jalan tiga minggu, bapak tidak melihat tanda-tandanya ?”. dhokter katon heran marang aku, ananging naliko nyawang aku sepisan maneh piyambake banjur ngendhiko” Oh..Bapak pasangan muda ya, jadi belum paham tanda-tanda kalau istrinya hamil”. Dhokter tansah manggut-manggut, tanpo ngenteni jawabanku.
Sak kal aku banjur kèlingan tingkahe sisihanku wektu-wektu iki, “o alah dingapuro yo dhik, jebul sliramu ki nyidam tho”, bathinku isin dhewe. Seneng ?, yo mesti bangete. Sênêng lantaran aku énggal bakal nduwé momongan. Momongan bakal nyambung sêjarahé awak’e dhewe ing mayopodo. Bukti yèn aku ki lanang tênan. Ora mung lanang-lanangan.  Olèhé nyênyuwun yo wis kêporo sakwêtoro. Géné kabul, opo iyo yèn ora seneng banget.
“Mas, kok malah mênêng waé to, kok mesam-mesem dhewe?” pitakone sisihanku naliko wis ning Apotik.
Aku  njênggèlèk soko angên-angên sing ndak ulur-lur, koyo-koyo ora pingin keganggu liyan.
“Lha njaluk piyé hé, Dik? Yo syukur Alhamdulillah tho. Aku ya wis kêpéngin krungu tangisé bayi ono tengah-tengahe awaké dhéwé iki. Ayo dimêmpêngi olèhé ngibadah mugo-mugo lêstari. Lan samongso-mongso têkan lairé si jêbang bayi ora ono alangan opo-opo. Mbésuk yèn wis gêdhé dadiyo bocah sing utomo. Piguno tumrap wong tuwo, kulowargo, nêgoro lan agomo, mugo-mugo dadi direktur Pupuk Kaltim.....”
Wis..wis, aku ora wareg krungu khutbah sampeyan Mas...” Sisihanku mbesengut, ngambeg. “We lha..kene ngecepres kok malah ditanggapi karo mbesengut”, aku nyoba nggoda sisihanku.
“Malah sêsorah! Aku iki kêpéngin anu lho, Mas!”
“Kêpingin opo dhik?, kondho o, Ya gênah bakal takgolèkaké tho, Dik. Ning isih panasé koyo ngéné jaré. Mêngko yèn wis êdhum-êdhum kono takgolèkaké, yo...” kondhoku ndadrah. “Ora Mas, aku pengin mulih Magelang..”, sisihanku ora noleh blas.” Lho..lho, nengopo tho, kok malah aneh-aneh “ kandaku ora ngerti.
Tak wangsuli mangkono sisihanku maklêrot. Rainé kêmbêng-kêmbêng kringêt soko njêro awak. Sênajan angin musim kêtigo nampêr-nampêr. Mbok mênowo kêdêrêng soko pêpingénané iku. Ditambah karo roso jengkel sing banget marang aku. Banjur njalari kringêtên.
“ Yo, yen aku ning Magelang, nyuwun opo wae mesti ibu enggal-enggal nggolekake, ora sah kok ngenteni sesuk. lha mung di sambati sate kambing sing regane mung piro kok ora mbok turuti…” sisihanku dadi sesenggukan. “ O alaahh Dhik, dingapuro yo kangmasmu iki, aku ki saking banget senengku, dadi lali kabeh, aku yo ora ngiro yen pepinginanmu telung minggu kepungkur iku jebul kekarepane jabang bayi….” Aku banjur ngrangkul pundake sisihanku kanthi mesra...(he..he..). Éwådéné sisihanku, gandhèng wis kêporo suwé olèhé ngangên-angên awan iku diwanèk-wanèkaké kondho bloko suto marang aku.
“Yo Wis mengko gek ndang tak golekake sate ne, yo saiki ndang mulih, panase njingglang tenan…”ujarku karo ngegarke payung warno biru sing wiwit mau tak cangking.
“ Mas aku isih kêpingin liyane ?” ature sisihanku isih durung mingset. “ Opo tho Dhik, mengko sisan tak tukok ake” kandaku semangat (banget lho ).” Pingin pelem po dondong, tak jalukke ning BTN akeh. Sêpiro to rêkasané wong golèk dhondhong utowo pelem.”
“Dudu kuwi, Mas?”
“Lha terus opo, aturno?",  Jawabku kanthi penasaran banget
“Dudu! Dondong utowo pelem, nggo opo kecut-kecutan ?”
“Lha opo? Wong nyidam umume yo njaluk kecut-kecutan tho, opo  nyidham gêlang utowo kalung ?" aku setengah ngguyoni. “Mas-mas, sliramu iku dadi wong lanang kok ora mudhêng karêpé wong wédok. Nyidham sêpisan waé kok kayané ora arêp keturutan.”
“Sopo sing ora arêp nuruti? Sliramu nyidham apa hé, Dik? Kondho o! opo niyat aku arêp sélak. Anggêré ora njaluk lintang lan rêmbulan...(hik..hik )”
Sisihanku unjal ambêgan landhung. Koyo patrapé ambêgane wong  anggêr wis kêsêl caturan, kesel padudon. Karêbèn nêmu coro sing pas kanggo bloko lan nyuntak roso mangkele marang  Aku. Dhèwèké nyawang  aku manèh. Sajak pancen ngêmu pênjaluk sing kuwat. Sajak éwo, gemes marang wong lanang sing ora tau duwé kawigatèn sing luwih. Kamongko wis sêprånå-sêpréné bojone ‘berkelakuan aneh’.
 “Lha kowé kêpingin opo, hé, Dik. Mbok ojo nganèh-anèhi to!”
“ Kok nganeh-anehi tho Mas, Iki dudu karêpku dhéwé, ning karêpé bayimu iki!”
“Lha iyo, opo?”, aku tansoyo penasaran kae. Dheweke banjur luwih nyedhak karo semu gethem-gethen gregeten.
“Êêng… anu, Mas, nyedhak o tak bisiki. Aku… aku nyidham sliramu dadi koruptor, ben sugih …!”ujare sisihanku karo nggendring pinuju petrosea.
Aku mung gèdhèg-gèdhèg , nggaruk sirah sing ora gatel. Njur nek koyo aku iki opo sing arep dikorupsi. Ono-ono wae guyonane sisihanku iku. Aku banjur enggal-enggal nyusul sisihanku sing wis rodho adhoh mlakune. Oalah...jebul sak suwene telung minggu iki sisihanku ora mung aleman tho.............( Abu Majid )

Petrosea memori 10 tahun yang lalu......
****

Selasa, 15 November 2011

Nasib-nasib...

Dadi Tumbal....!!
Dening : Abu Majid  
  
   "Wis dadi nasib’e karyawan bawahan", asring banget aku krungu konco-konco podho ngendhikan. Koyo salah sawijining konco lawasku sebut wae Hardi, Sing dadi karyawan ing salah sawijining Perusahaan menengah ing kota Jakarta. Nadjan Hardi iku lulusan diploma, ning karono dhewek’e nglamar ing perusahaane nganggo ijasah SMA yo kudu nrimo yen sak suwen-suwen mung bakal dadi bawahan. Ojo kok Hardi sing nembe sewelas tahun kerjo, konco-konco senior sing wis likuran tahun makaryo wae yo mung tetep dadi bawahan. Yen di pikir sakjane yo kepinterane ora kalah karo karyawan liyo sing pendidikane D-III, lha wong menang pengalaman kok.
   Sêjatiné yo ora abót anggóne Hardi nindakaké pakaryan sing ono ing bagiane, ra maidho sebab nganti ganti atasan ping limo yo Hardi tetep bertahan ing bagian iki, malah-malah Hardi  ngerteni banget atasan sing endhi wae sing pancen mumpuni lan endhi wae sing mung enthuk jabatan karono “nasib’e” apik cedhak karo pejabat perusahaan. Nangíng piyé manèh, Hardi múng sakwijiníng bawahan síng kudu loyal marang atasan. Kamongko atasane yo wís nginstruksèkaké yèn kabeh gawean sing iso di tindhak’e, yo dirampungke wae. Lha, kepomo malah atasane ki ora ngerti gawean opo sing kudu tangani.Wis ngono kok yo kebangetan tenan, naliko penilaian karya iso-isone wenehi biji C marang Hardi. “Lha terus kudu kepiye supoyo diwenehi biji B, opo maneh sing kudu tak tindakake ?”, Ujare Hardi. Eling banget Hardi naliko sepisanan di timbali ing ruangane atasan anyar iku. ” Mas, kabeh gawean sing iso di kerjakake dirampungke wae yo, mengko yen ono masalah diaturke wae….” Ature Pak Sadewo, atasane Hardi naliko lagi wae njabat. Diaturke marang sopo ?, bathine Hardi ngglaes. Jebul temenan, yen Hardi nduweni masalah ( sejatine Hardi iso ngatasi dhewe), ilok-ilok di aturke marang mejone atasane, dienteni sedino rong ndino kepomo malah seminggu rong minggu ora ono omongan opo-opo,
 
   Pancèn iki konsêkuènsiné nduwèni jabatan síng ‘stratêgis’ koyo Hardi. Jabatan “pelaksana”, dadi kabeh kudu di lakoni, kudu di'laksanakan'. Yo pelaksana harian, yo pelaksana tugas, yo pelaksana-pelaksana liyane. Cekak’e siaga setiap saat nompo limpahan tugas. Wis ora kapetung driji ping piro Hardi dumadakan di telpon atasan sakperlu ngganteni meeting.
   Ora selak yen sakwisé Hardi pindah ing panggonane saiki, tansah luwih kroso cocok. Nalikane biyen di tawari mutasi dening kancane, Hardi yo setuju-setuju wae. Najan  dhewe’e ora ono masalah karo gawean nanging Hardi rumongso yen bakal iso makaryo ing panggonan sing pas karo ilmu sing di kuasai rasane kok yo luwih sreg ngono. Dadi yo sakjane pancen koyo unen-unen “tumbu ketemu tutup”.
Nangíng yèn ono pêrkoro síng koyo sing tak critake ing ngarep, Hardi ugo kudu wani ndhadhagi dhewe. Hardi kudu wani mutuske dhewe.Awít yèn ora, biso dipêsthèkké yèn masalah-masalah kerjaan kuwi ibarat boomerang, bakal ngantem awak’e dhewe.Mulo, nadjan kadang-kadang nggrundel, Hardi yo kudu nuntaske gaweane dhewe.
"Wís lah Mas, ora sah dipikirké abót-abót. Targete sing penting gawean rampung pas titi wancine wae, mengko yen ono permasalahan yo di adhepi bebarengan, sing penting  sampeyan ndukung data sing valid…”, ature atasan sing luwih dhuwur, piyambake pancen ngerti banget  sopo lan koyongopo sing dadi atasane Hardi langsung. Isone mung ngerti beres wae. Malah naliko ing meeting nate disinggung liyan,” Nek melu meeting yo ojo mung njanggleng, mbok yo’o wenehi usulan, ora mung idem terus..”.

“Prahoro iku muncul kiro-kiro setengah tahun kepungkur”, critane Hardi marang aku.
Ing salah sawijining dino, atasane Hardi kang aran Pak Sudewo dumadakan nimbali Hardi ning ruangane. “ Mas Har, piye penawaranku telung ndino kepungkur, wis dipikirke ?” ature Pak Dewo ndedes marang Hardi. Hardi isih bimbang, dhewek’e kuatir yen jawabane ora mranani marang penggalihe Pak Dewo. Pak Dewo jumangkah nyedaki Hardi. “Síng pêntíng kowé biso ngolah ongko-ongko iku kanthi layak.Iki proyek besar, dadi ora ketoro yen manipulasi sedikit.Masalah liyané mêngko aku síng ngatúr," sêsambungé Pak Dewo sinambi ngêpúk-êpúk pundhak’e Hardi.
“Kulo..kulo tasih bimbang Pak..” dumadakan hardi dadi deg-degan
"Lha piyé kiro-kiro? opo Mas Hardi kabótan? Soalé Dik Sandy wingi ugo nawakaké arêp nggarap proyèk iki,lho" ujaré Pak Dewo koyo ngêrti kêmrusuhing dadane Hardi.
"Oh, mbotên Pak. Kulo taksíh sagah ngayahi piyambak," ujarku gurawalan.
"Bagus! yo ngono iku síng tak karêpké. Yèn pancèn sampeyan sê-visi karo aku, mêsthi aku ora bakal ngalang-alangi awakmu mas. Wís sak iki rampúngna aku péngín Minggu ngarêp wís rampúng. Sanggúp tho?"."Sêndikå Pak," jawabe Hardi karo manthúk-manthúk.
Hardi énggal-énggal ninggalaké ruang kêrjané Pak Dewo.Nganti awan wayah istirahat makan siang Hardi ora iso konsentrasi marang kerjaane, pikirane bingung. Sakjane dhewek’e ora iso nompo gawean sing resikone gede banget, KUNJARAN. Nanging dhewek’e yo wis di ancem dening Pak Dewo,” Yen kowe satu Visi karo aku, aku bakal ora ngalang-alangi kariermu”, piwucape Pak Dewo tansah ngiang-ngiang ing kupinge Hardi. "Nèk masalah ongko gampang diowahi, Mas. Múng síng dadi masalah iki tanggúng jawabé abót awít nyangkút dana síng ora sêthitík," ujaré Santoso, rikolo awan kuwi podho makan siang ing kantin..
"Nangíng têrús piyé Dhík? Bósku wís nêtêpké kudu biso. Yèn ora aku kudu siap ninggalké kantór iki," semaure Hardi. Santoso  manthúk-manthúk karo ngelus-elus jenggote sing ketel, sajak melu mikir tenan..
"Yo wís, arêp piyé manèh. Mbók mênowo iki pancèn résiko pêkêrjaan. Resiko pilihan mas Hardi, dadi mas Hardi kudu siap," sambungé santoso, konco sing banget raket karo Hardi.
                                                   ***
   Perkoro iki pancèn  dudu masalah síng ènthèng, awít proyèk iki gunggungé mílyaran rupiah.Ongko sing kudu di-mark up yo ngedap-edapi. Nangíng piyé manèh. Hardi múng bawahan kudu loyal mênyang atasan. Awít yèn ora biso-biso ancamane Pak Dewo bakal kasunyatan, terus kepiye nasib keluargane. Kamongko kabeh wong ngêrti dhéwé kanggo ningkataké karir íng kantór ora barang síng gampang.
Awít mèh sewelas tahún anggóne Hardi bêrjuang ngrintís karir, nganti sak iki isih dadi pelaksana senior ing kantóre. Yo piye maneh, koyo-koyo karier ki mung dhuwek’e poro sarjana, kerjo lagi telung tahun wis dadi Kasi, kerjo limang tahun njur dadi Kabag. Nasib’e pelaksana yo mung ngenteni Ndok Blorok paribasane. Yen Ndok’e ora Blorok yo nganti pensiun tetep pelaksana.

"Durúng saré, Mas?, ono opo kok katon gelisah tenan.wiwit mau tak sawang mas Hardi unjal ambegan sing dowo" pitakone Vira, sisihane Hardi

Ora sadar yèn wêktu iki Hardi nêdhêng ngalamún nèng têras mburi. "Durúng ngantúk, Dhik?" sêmaure Hardi karo nyumêt rókók êmbúh wus síng kaping piro. "Sajaké ono masalah nèng kantór?" Bedhek’e Vira síng wís apal lagónane Hardi.
Sabên ono masalah mêsthi tangkêpe dadi séjé karo padatan.Hardi múng manthúk alon. Vira lunggúh íng sandhínge. Yen wís ngono biasané Hardi nuli crito  marang dhèwèké. Pancèn sak suwéné iki sisihane síng dadi sparing partner, mecahake kabeh masalah sing di adhepi.
Vira pancen sisihan síng istiméwa, sênadyan múng ibu rumah tangga, nangíng otakké ora kalah karo wanita karir. Ora nggumúnaké wong sêjatiné Vira lulusan sarjana muda lan nate kerjo ing perusahaan ugo. Múng amargo Vira kepingin anak-anake tumbuh ing pengasuhane, mulo dhewek’e lilo ninggalke pekerjaane. Yo pancen tenan, anak-anak’e biso kopèn.
                                                      ***
   " Buah simalakama Mas, abót posisi panjênêngan, Awít iki diléma.Yèn njênêngan wêgah, mêsthi bakal dilórót. Nangíng yèn pênjênêngan tindakké, abót résikoné," komêntaré Vira sak wisé miring critane Hardi.
"Ya kuwi síng gawé bingúngku. Lha trús aku kudu piyé?" ." Yen ngono pasrahke marang Gusti Alloh. Mas Har pun sholat, yen durung enggal sholat, nyoba nyuwún tuntunan Gusti Allah, sopo ngêrti mêngko njênêngan olèh pêpadhang," ujaré Vira .
Hardi manthúk-manthúk têrus  menyat  tumuju kamar mandhi sak perlu njupúk banyu wudu kanggo ngrêsiki badan. Vira ngetutke ing mburi.
Sak jroning sholat Hardi ora biso khusuk, dirasak’ake  koyo ngopo jumbal-jumbulé wêwayangan ing alam pikirane. Sênadyan tak cobo nyilêmaké wêwayangan iku nanging kroso angèl bangêt.
Sabên-sabên wêwayangané Pak Sadewo kanthi polatan nêsu ngulataké Hardi. Gonta-ganti karo lapuran proyèk síng kudu di gawé. Têrús nglambrang manèh wêwayangan dhewek’e dipêcat déníng atasan. Terus ono bayangan KPK, polisi lan kunjoro.
“Ésúk iku Sandy têko íng mejoku karo mènèhaké layang kanggo aku. Tak bukak, jebul Note seko Pak Sadewo sing isine supoyo aku mènèhaké proyèk iku marang Dik Sandy” Critane Hardi rikolo iku.
"Sorry lho Mas, aku múng nindakaké dhawúh," ujaré Sandy katón pêkéwúh karo Hardi.
"Ora opo-opo, Dhík. Mbók mênowo kowé luwíh cocok nangani proyek iki timbang aku," ujar Hardi karo mènèhaké bêrkas-bêrkas administrasi proyèk.
Sênadyan ono kang kóbóng íng dhodho Hardi, nangíng sak isone Hardi cobå mêkak hardaníng kanêpsón.
Mugo-mugo waé Gusti Allah tansah mènèhi kêsabaran marang aku”, Bathine Hardi keronto-ronto. Awít sopo wóngé síng ora loro ati, yèn nèng têngah dalan gawéyané dipasrahké wóng liyo. Mokal yen ora kasoran, Pak Dewo pancèn kêbangêtên.Mboh opo sing ono ing pikirane sahinggo tego marang anak buahé.
Awan iku Hardi milíh mulíh gasik, awít yèn ditêrús-têrúské nèng kantór bisa-bisa malah  dhéwé'e síng ora kuwat.
                                                         ***
  Hardi wís ngrumangsani lan pasrah marang sing gawe urip, yèn karire mbók mênowo bakal mandheg ing kene. Awít wêktu iki Pak Dewo, ora gêlêm nyapa arúh marang dhewek’e. Sabên-sabên dhèwèké butúh, mêsthi Sandy síng diundang ono kantór.
Hardi rumongso korban pangroso temenan. Awít sopo wóngé síng kuwat dipêrlakukan koyo mangkono. Nangíng Hardi sepisan meneh nyoba sabar. Karo íng batin tansah ndêdongo, mugo-mugo Pak Dewo diapuro dosané déníng Gusti Allah, sarto dibukakaké atiné supoyo ora bangêt-bangêt anggóné nindes bawahan.

    Let pirang wulan sak wise, ono ing sak wijiníng wêktu sopo síng bakal ngiro, yèn kantóre Hardi ditêkani polisi pirang-pirang. Wiwitané ruang Hardi síng diprikso, barêng ora ono têrús ruangé Kêpala Kantór bubar kuwi têrús  ono sawijining polisi  nyêrahaké surat marang Pak Sadewo. Pak Sadewo diglandhang déníng pêtugas kêpolisian iku. Awít disinyalír dhèwèké wís mark up dhuwít proyèk nganti milyaran. Ora múng Pak Dewo dhéwé, kêlêbu  Sandy síng kumawani nglancangi gawéyan sing nembe ditangani Hardi. Dhewek’e kudu dadi saksi ing masalah iki.

Lan wís biso diwoco, íng ngêndi papan Kêpala iku ora tahu salah. Síng salah mêsthi bawahan. Awít ora gantalan suwé Pak Sadewo wís mêtu soko kantór polisi. Déné Sandy malah ditêtêpké dadi têrsangka. Sandy wís dadi tumbal marang proyek iku, awít dhèwèké kudu mikúl dosané atasane. Wondene Pak Sadewo múng cukúp dimutasi íng kantor cabang liyo.
"Bêgjo mu yo Mas. Untungé nolak opo dhawuhé bós mbiyèn," ujaré Vira karo ngrangkúl bojone lan nangís sesenggukan.
"Gústi isíh njampangi awakku, Dhik. Lan kabèh mau uga ora uwal soko dukunganmu," Hardi ugo melu mrebes mili..................................( Abu Majid)

Rabu, 12 Oktober 2011

W a k t u........

begitu Cepat Berlalu……!!
Oleh : Abu Majid
          Terkadang aku merasa malu sendiri pada diriku, mengapa aku tak pernah bisa merasa ”sudah tua”. Diusia yang sudah 37 aku masih belum  mampu menjadi lebih bijak, aku masih belum mampu  menapak pada jalan yang lurus dan landai. Kerikil tajam, onak dan duri masih berserakan dijalan yang ku lalui. Yach..diparoh waktu perjalanan yang hampir 40 tahun ini aku masih belum mampu membangun pondasi yang kokoh dalam hidupku. Sifat sombong diri, Iri dengki, masih melekat erat dalam diriku. Ibarat suatu perjalanan akupun seolah lupa bahwa musafirpun  harus berhenti pada akhirnya.
    Dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar ucapan, "Ah kayaknya baru kemarin ya kita tiba di bontang, eh tahu-tahu..…ternyata anak-anak sudah remaja, bahkan sebagian anak-anak sudah mau kuliah". Rupanya inilah kehidupan, begitu cepat sekali hari berputar, tahu-tahu sudah lebaran lagi. Bahkan serasa baru kemarin, ternyata lebaran iedhul fitri sudah sebulan lebih kita tinggalkan. Sebulan seperti satu jam, setahun rasanya seperti sehari.
Tentu suatu yang aneh kenapa kita tidak pernah berkata “ Rasanya baru kemarin kita gajian, kok sudah gajian lagi ya..??”. Itulah tanda bahwa kita memang benar-benar memeluk erat dunia. Dalam hidup kita hanya uang dan uang, kebutuhan dan kebutuhan. Kita putar otak kita untuk dapat memenuhi semua ambisi, semua keinginan kita.
Kehidupan yang singkat ini banyak manusia melupakannya, justru mereka berlomba-lomba untuk menggapainya dan melupakan kehidupan yang kekal abadi yaitu kampung akhirat, Sebagian besar dari kita sudah diliputi Wahn (Cinta Dunia Takut Mati), sehingga dusta dan kebohongan sudah menjadi sajian sehari-hari.
Yach..terkadang aku menyadari bahwa selama ini aku telah menyia-menyiakan waktuku banyak terbuang begitu saja, di usiaku yang sudah memasuki kepala empat tidak banyak perbuatan baik yang bernilai kulakukan, aku termasuk manusia yang sangat merugi. Tetapi.....sesaat saja aku tersadar. Maksiatpun  terulang lagi dan lagi. Terbayang bagaimana lamanya penantian pengadilan Allah di padang masyar, karena semua manusia akan diputarkan film kehidupannya dari akil baliq hingga matinya.

Ya Robb... Maafkan segala alpa dan khilafku selama ini, ampunilah segala dosa dan kesalahanku, tolonglah dan berilah kekuatan dan petunjuk-Mu agar hamba-Mu dapat memanfaatkan setiap detiknya untuk berbuat amal kebajikan yang Engkau ridhoi
Ya Robb.... baguskanlah akhlakku, dan perbaguslah setiap amal kebaikanku dan jadikanlah amal terbaik dalam hidupku merupakan amal penutup segala amal kebaikanku,
Ya Robb... masukkanlah aku kedalam golongan para Siddiqin, para Syuhada dan Sholihin. Aamiin…………………………

Just for Me....or you too..??

Regards

Sepuluh Tahun yang Lalu....

Teruntuk :
Seseorang yang membuat aku kasmaran....

Sepuluh tahun yang lalu…
Hari itu hari Sabtu, masih pagi dan matahari memancarkan hangat sinarnya kebumi. Cahayanya yang tajam keperakan berpendar menerobos rimbun daun angsana dan jatuh diselasar masjid dekat rumahmu.
Kau nampak anggun dengan Kebaya putih  membalut tubuhmu, kau tertunduk malu-malu.
Semua wajah berseri bahagia, Ssttt...terlebih lagi engkau dan aku…
Perasaan yang tak terlukiskan saat  sejengkal  terpaut sakral
Mimpikah engkau ketika itu ?

Tidak…ini pilihanku ( lirih katamu )
Tapi sebenarnya dalam hatimu bertanya-tanya
Benarkah aku ada disini, benarkah hari ini aku menikah denganmu ?
Kutahu dari matamu, saat kau terluka oleh sikapku...saat lidah ini mengiris pedih perasaanmu...Terkadang pertanyaan itu masih saja muncul dibenakmu.
Tapi…Percayalah, aku tak pernah meragukan mu.

Sepuluh  tahun sudah  kita arungi samudera luas tak bertepi
Terpaan angin, gelombang, badai menyapa silih berganti
Dan…tahukah kau ia tak akan berhenti,..?
Angin tetap akan bertiup,  kadang kencang kadang sepoi
Gelombang akan selalu datang, kadang hanya riak... kadang bergulung
Hujanpun kadang gerimis kadang mengundang badai
tapi........Ibarat suatu biduk
kita adalah galah penopang layar kehidupan
Tak ada yang salah padamu jikalau kadang layarmu terusir angin yang berhembus kencang
Tapi kuyakin, layarmu terikat erat pada galah-galah penopang yang kuat terpancang
Yakinkan hatimu bahwa kita mampu menepis badai dengan rangka-rangka doa yang kita tautkan bersama

Sepuluh tahun kini…..
Aku tetap saja bukan pujangga, yang mampu mengurai kata sempurna
Yang menyanjung dirimu hingga menjadi bidadari
Namun……jika boleh hati dan lisanku berkata
Hanya engkau dalam hatiku
Maafkan aku jika terkadang membuatmu terluka
Luka yang mengurai perasaan
dan.... mengalirkan airmatamu
Maafkan aku jika tak jua jadi sempurna
Dalam membimbingmu menyongsong hari
***********Suami-mu.

Kamis, 22 September 2011

Pensiun….!!!

Pen…si..uunnn….!!!
Oleh : Abu Majid


   Siang ini (22/09/11), tak seperti biasanya saya tidak pulang kerumah ketika jam istirahat, saya memilih istirahat dan sholat dzuhur di masjid Al-Mubarok. Lumayan bisa bersilaturahim dengan rekan-rekan karyawan yang terbiasa Dzuhur berjamaah di al-Mubarok. Dua atau tiga shaf barangkali jamaah sholat dzuhur hari ini,Namun hampir tak saya lihat ada ‘darah muda’ berdiri diantara shaf-shaf itu. Hampir 100 % adalah rekan-rekan karyawan ber NPK kisaran antara 81-85. Dari situlah saya tergelitik untuk membuat tulisan ini.

    PENSIUN…. Sebuah kata yang bisa jadi menjadi 'hantu' yang  menakutkan bagi  ‘segelintir’ orang yang pernah menjadi ‘pekerja’ dan….mungkin beberapa saat kedepan mau tidak mau harus berhadapan dengan yang namanya PENSIUN. Mungkin sepuluh tahun yang lalu hati kita tidak ‘bergetar’ dan dingin-dingin saja ketika menyebut kata ‘Pensiun’, tetapi akhir-akhir ini mau tak mau bergejolak juga ketika sahabat, teman mengatakan kata itu, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Meski saya masih akan pensiun pada 2030 nanti, InsyaAlloh. Namun kata ‘pensiun ‘ sudah familiar ditelinga saya. Maklum saya memang terbiasa berkumpul dengan orang-orang yang usianya jauh diatas saya. Bahkan kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak saya SMP ketika harus menggantikan bapak saya tugas Siskamling. Ternyata bergaul dengan orangtua itu hampir 99% positif, banyak ilmu yang bisa kita dapatkan .

   Kembali kepada judul diatas, saya pernah membaca sebuah artikel dari Pak Syafri, Guru besar IPB mengenai bagaimana harus bersikap menghadapi masa pensiun kita.

    Sebenarnya pensiun adalah fenomena alami ketika seseorang yang usianya dianggap sudah lanjut harus sudah tidak berstatus pegawai tetap lagi. Begitu pula yang bersangkutan tidak bisa ‘mengelak’ ketika peraturan menyebutkan pada usia tertentu harus sudah siap pensiun. Dengan kata lain yang bersangkutan harus ikhlas. Namun memang kata pensiun tidak jarang diasosiasikan dengan gambaran “menakutkan”. Hal itu biasanya muncul setelah masa tiga bulan-enam bulan pertama masa pensiun dilewati. Ketika itu terjadi maka diperkirakan ada beragam fenomena psikologis yang muncul. Pertama, merasa bingung apa yang harus diperbuat akibat sudah tidak punya kegiatan lagi. Kedua merasa kesepian dibanding ketika masih aktif sebagai pegawai. Ada rasa enggan ketika harus meninggalkan rekan, teman dan sahaat baik. Ketiga, merasa biasa-biasa saja. Kemudian ‘masalah’bisa terjadi karena sang pensiunan belum mempersiapkan rencana pasca pensiun secara matang. Hal demikian, bisa juga terjadi karena yang bersangkutan merasa tidak memiliki sumberdaya khususnya dana dan pengalaman serta jejaring bisnis. misalnya untuk berwirausaha. Sementara pada point yang ketiga diatas, biasanya sang pensiunan sudah memiliki rencana kegiatan pasti yang telah dirintis sebelum pensiun.
.
  Di lingkungan Pupuk Kaltim, beberapa saat terakhir dan sekitar lima tahun kedepan banyak sekali karyawan yang akan menjalani masa pensiun. Dari cerita-cerita sahabat saya, saya dapat membaca bahwa beliau-beliau sudah jauh-jauh hari mempersiapkan untuk  ‘masa-masa ‘itu.

     Suatu ketika ada karyawan yang agak lama saya tidak melihatnya, tiba-tiba kami bertemu. “ Wah…pulang ke kampung atau di sini saja Pak ?” Tanya saya kepada beliau yang ternyata sedang mengurus “Hak akhir” dari perusahaan. Saya cukup mengenal dengan baik beliau.sehingga basa-basi seperti ini saya rasa amatlah perlu.” Ini saya sudah pindahan, pulang kampung, Mas “ kata beliau.”Gimana rasanya Pak  menjadi ‘orang bebas’..”, tanya saya lagi. “Saya mencoba enjoy, tetapi ternyata kebiasaan selama ini tidak bisa dihilangkan begitu saja, Mas. Setiap pagi saya terbangun dengan kaget ketika melihat diluar sudah terang benderang. Saya segera mandi dan hendak bersiap berangkat kerja. Istri saya hanya tersenyum dan mengingatkan bahwa saya sudah pensiun, ya rasanya lucu saja ”. Katanya agak malu-malu.

Dilain hari saya juga bertemu dengan seorang karyawan yang juga ke akuntansi untuk keperluan yang sama. Salah satu teman sayapun bertanya “Jadi setelah pensiun ini usahanya apa Pak” katanya dengan ramah.Bapak tersebut tidak langsung menjawab, tetapi memandang tajam kearah teman saya, sambil berkata “ Usaha…usaha…setiap orang tanya usaha apa, namanya orang pensiun ya berhenti bekerja..bukanya buka usaha..”. Saya terperanjat mendengar jawaban ketus bapak tersebut. Apalagi teman saya yang hanya bisa  malu sendiri. Tak ada yang aneh dari pertanyaan yang diajukan teman saya, dan bahkan mungkin tidak ada maksud apa-apa. Tetapi rupanya tak semua orang  siap mental untuk memberikan jawaban.

     Jika kita baca kembali harian Kompas ( 28/3/11 ), harian ini me-release sebuah berita mengejutkan bahwa: “9 dari 10 orang di Indonesia belum siap menghadapi pensiun”. Ach..saya berpikir bahwa riset ini tidaklah benar dan mengada-ada. Kenapa ?, riset ini pastilah tidak mengambil responden dari Bontang. Saya melihat hampir 90 % karyawan di Pupukkaltim ( yg hampir pensiun ) sudah siap lahir bathin. Mereka yakin bisa hidup nyaman ( live in comfort-lah  ) ketika sudah waktunya pensiun. Memang program pensiun telah mereka siapkan secara matang. Seorang rekan bahkan mengatakan, “ Apa yang merisaukan saya ?, anak-anak saya sudah hampir mapan semua, mereka yang masih sekolah sudah punya tabungan sendiri-sendiri. Gaji pensiun saya cukuplah untuk hidup layak. Tak banyak keinginan untuk orang seumuran saya ini”.” Saya tinggal mempersiapkan dan menambah bekal untuk ‘perjalanan’ selanjutnya” sambungnya bijak.Bahkan saya sangat kagum dengan seorang sahabat yang seamngat luar biasa belajar ini dan itu, mengikuti kajian ini dan itu, padahal tinggal beberapa saat lagi pensiun. Sedangkan saya lebih banyak absen didalam halaqoh-halaqoh. Begitulah gambaran rekan-rekan kita yang menghadapi masa-masa ‘bebas’. Segelintir saja yang merasa Nervous menghadapinya. Bukankah berbanding terbalik dengan riset diatas.
     Bagi mereka yang nervous tentu tak ada pihak lain yang bisa membantu, tetapi dirinya sendirilah yang bisa membangkitkan rasa percaya diri mereka sehingga dapat menghadapi pensiun dengan dignity alias Penuh Percaya diri.Benar…bahkan, kebanyakan dari beliau-beliau yang percaya diri, secara perlahan mulai ‘menepi’kan hal –hal yang berbau dunia, mengisi waktu-waktu dengan menyibukkan diri di kajian-kajian mendalami ilmu agama.

     Tentulah kita tak bisa menyamakan dengan di dunia barat, amerika misalnya, kehidupan disana tentu lebih focus kepada kehidupan dunia ( materi ), sentuhan religi tidak menjadi prioritas mereka. Sehingga wajar kalau di Negara yang superpower tersebut ketakutan menghadapi pensiun juga menghantui 89 % pekerja pra pensiun, hanya 11% yang comfortable, yakin bahwa mereka akan hidup nyaman dimasa pensiun. Angka-angka tersebut pernah di publikasikan oleh CNBC (05/04/11).

    Menurut Pak Syafri, pensiun adalah bukan sesuatu yang harus membuat sang pensiunan khawatir atau takut. Banyak yang bisa dikerjakan. Pilihan begitu banyak. Tidak kecuali mengasuh cucu di rumah; asalkan itu adalah pilihannya yang terbaik. Begitu pula dengan pilihan-pilihan lainnya. Pasti seorang pensiunan sekali memilih kegiatan tertentu dia sudah mempertimbangkan manfaat dan konsekuensinya. Sudah bukan saatnya untuk coba-coba. Jadi yang terpenting isilah waktu-waktu ke depan dengan kegiatan positif apapun. Insya Allah stres dan bahkan depresi tak bakal muncul. Jika dulu ketika kita masih aktif bekerja tidak sempat mengembangkan hobby, nah pilihan untuk menyalurkan hobby mungkin akan menjadi dunianya yang paling membahagiakan.  Lakukan semuanya dengan santai…..Don’t Worry, be happy ya Pak…….!!

Salam hangat,

Abu Majid

Selasa, 13 September 2011

Ajari Anak-anak agar punya rasa HORMAT pada Orangtua

Oleh : Abu Majid - BSD
    Liburan panjang Sekolah kemarin  seharusnya menjadi moment yang sangat baik untuk me-refresh otak anak-anak dan juga otak kita sendiri.Karena kita bisa sedikit santai tidak harus mendampingi anak-anak belajar. Tetapi nyatanya tidak begitu bagi saya yang tidak pulang kampung, saya dan terutama istri benar-benar Stress luar biasa. Rasanya ada tambahan ujian bagi Ramadhan kami.  Bagaimana tidak, kalau jaman dulu waktu masih sekolah, liburan saya habiskan dengan bermain di kali, di sawah, di kebun atau main layang-layang di tanah lapang tanpa ada kekwatiran dari orang tua. Sekarang ??, anak-anak menghabiskan waktu libur dengan main game berjam-jam. kita (saya) seringkali harus berteriak untuk menyuruh anak berhenti main game, begitu luarbiasa, Game telah men-candui mereka. Semakin lama semakin asyik. Tak bijak tentu kalau kita membiarkan mereka main game tanpa pendampingan, Internet begitu membahayakan, salah klik maka fatal akibatnya.
    Sebagai orangtua, kita juga punya kesibukan selain ‘hanya’ menunggui anak-anak didepan computer. Ketika kita menyuruh berhenti bermain dan ingin mengerjakan kesibukan yang lain, anak-anak ‘kadung’ asyik, jadilah saling adu argument, anak membantah dll. lalu ketika habis kesabaran , kita terpaksa menggunakan otorisasi  sebagai orangtua, MEMAKSA. Membiarkan anak-anak bermain seharian diluar ? tambah tidak bijaksana. Setiap keluarga tentu punya aturan masing-masing, anda pasti pernah terperangah ketika sikecil tiba-tiba mengucap kata-kata ‘jorok’ atau kurang sopan, anda tentu merasa amat terpukul karena anda merasa tidak pernah mengajari kata-kata itu. Ust. Facrurrozie pada kesempatan seminar Parenting di Gedung koperasi ramadhan kemarin mengatakan “ Lingkungan sangat besar pengaruhnya pada prilaku anak-anak, jika mereka kita biarkan tanpa pengawasan ,maka kita akan kerepotan sendiri mengatur mereka kala remaja”. Benar saja, sayapun sering mengeluhkanya, kerapkali saya dengan tetangga tak sejalan dalam mendidik anak, banyak para orangtua yang melepas begitu saja anak-anak diluar tanpa pengawasan. Saya terkadang harus tega ‘mengusir’ anak-anak yang main dirumah disaat jam tidur siang buat anak-anak. Sayapun tak habis pikir, kenapa jam-jam segitu anak-anak dibiarkan ‘berkeliaran’ diluar rumah. Berkali-kali saya harus menaikkan 'tensi' ucapan saya ketika anak-anak berkilah “ Si Rudi boleh main kenapa aku tidak, si Roni boleh ini boleh itu..kenapa aku tidak…??”.

    Berlaku baik dan menyayangi anak-anak bukan berarti orangtua membiarkan anak-anaknya berlaku semaunya, tidak hormat kepada orangtuanya, atau kepada orang lain. Dibiarkan tumbuh dengan pengawasan sekedarnya. Anda pasti pernah mendengar teman anda berkata “ Ach..biarkan saja anak-anak pada dunianya, dulu orangtua saya juga membiarkan saya, toch saya juga jadi ‘orang’…!!”.Sebuah pertanyaan menggelitik di otak saya : Perkataan seperti itu sebenarnya menggambarkan 'sayang' kita pada anak atau justru menggambarkan kepasrahan bahwa sebenarnya kita ' TIDAK TAHU atau TIDAK MAMPU ' mendidik mereka ?.

Terkait dengan penghormatan pada Orangtua, Adakah perbedaan antara cara mendidik anak yang 'dibiarkan' tumbuh sendiri dengan orangtua yang punya aturan ( bahkan otoriter, mungkin )??.
Seseorang yang mengatakan, " Saya tetap jadi 'orang' meski orangtua saya sibuk..", akan memandang bahwa keberhasilan yang ia raih adalah karena usahanya sendiri. Berbeda dengan seseorang yang menjadi 'orang'  tetapi  harus dilaluinya dengan seabrek aturan dari orangtuanya. Ia akan memandang bahwa keberhasilan yang diraihnya karena peran orangtua. Ia akan hormat dan berterimakasih kepada kedua orangtuanya, iapun akan mengatakan " Semua aturan yang diterapkan kedua orangtua saya ternyata bukti bahwa mereka menyayangi saya, entahlah apa jadinya kalau mereka membiarkan saya 'tumbuh' sendiri".
Sebuah artikel Parenting Skill, Dr. Ekram & Dr.Moh.Rida Beshir, mengupas tentang bagaimana kita sebagai orangtua harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan rasa hormat pada diri anak sejak usia dini.
Senada dengan itu dalam suatu hadits rasulullah saw bersabda: "Seseorang yang tidak mempunyai rasa sayang kepada yang lebih muda dan tidak punya rasa hormat kepada yang lebih tua, bukan dari golongan kami"

Di banyak ayat dalam Al-Qur'an menegaskan untuk menghormati kedua orangtua. Di dalam surah Al-Israa', ayat 23-24  dan disurah Al-Baqarah ayat 83.

"...dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia...."
    Anak-anak memerlukan contoh menghormati orangtua dan orang-orang yang lebih tua dalam kehidupan keseharian mereka. Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa: Budaya Timur masih mudah untuk menerapkan rasa hormat menghormati, tetapi budaya orang amerika utara membuat hal ini menjadi sulit bagi anak-anak untuk belajar nila-nilai ini tanpa usaha yang sungguh-sungguh, contoh yang konsisten dan latihan terus menerus dari orangtua mereka. Dalam masyarakat ini ( amerika), anak-anak selalu mendengar komentar seperti, "Why not?", "It's not fair," and  "I don't care" dari teman-teman mereka juga dari orang-orang dewasa. Komentar dan tingkah laku seperti ini tidak mengembangkan rasa hormat,  karena ini berasal dari sikap individual di Amerika utara.

Komentar tersebut menggambarkan sifat mementingkan diri sendiri dan hanya memperhatikan keinginan pribadi tanpa memperhatikan keinginan orang lain.

Juga sangat normal bagi anak-anak make faces (meledek) ketika mereka berbicara dengan orangtuanya di rumah atau kepada guru mereka di sekolah. Tingkah laku seperti ini menjadi kebiasaan untuk sebagian anak-anak. Sikap ini menjadi biasa untuk sebagian anak-anak yang hampir setiap saat mereka bahkan tidak berfikir lagi kalau mereka make faces. Ini adalah bentuk lain dari perbuatan tidak menghormati yang seharusnya tidak dibiarkan jika kita ingin anak kita menjadi anak muslim yang mempunyai akhlak yang mulia. Hati-hati, di lingkungan kita sendiri, bahkan bontang, norma-norma tsb sudah mulai terdegradasi, anak-anak kurang mendapatkan contoh yang baik dari orangtua dan lingkungan.

Orangtua harus berusaha keras untuk memastikan anak-anak mereka memahami bahwa apa itu menghormati dan apa yang tidak. Orangtua dengan mudah mengajari  menghormati dengan selalu memperlakukan satu sama lain dengan sikap menghormati, sehingga anak-anak mempunyai contoh yang nyata. Orangtua juga dapat mengajar menghormati dengan memperlakukan anak-anak secara hormat dan dengan melatih secara terus menerus, latihan dan menuntut anak-anak mengerjakan  perbuatan-perbuatan menghargai. Sebagai contoh, jika mereka make faces ketika berbicara dengan kita (orangtua),  lalu katakan kepada mereka,"Look at me. Am I making faces while I'm talking to you? Please don't make faces when you talk to me."

Contoh lain mengajarkan mereka untk mengatakan "please, mohon, tafadhol / lausamahta" kapan saja mereka meminta sesuatu dan "thank you, terimakasih, syukron / alhamdulillah" kapan saja mereka diberikan sesuatu.  Meskipun dalam hal yang sederhana berterima kasih kepada ibu mereka untuk makanan yang telah tersedia di meja makan  membuat mereka berfikir betapa banyak yang dilakukan orangtua mereka untuk mereka.

Walaupun ketika tidak sependapat, anak-anak harus diajarkan melakukannya dengan cara yang hormat. Misalnya, orangtua membawa anak-anak ke taman untuk bermain. Ketika waktunya untuk pergi, anak-anak bertanya," Can we stay longer, mom-dad ?". Setelah orangtua menjelaskan saatnya untuk pergi. Anak-anak mulai bicara,"It's not fair. Why do we have to go?".

Orangtua seharusnya jangan membiarkan hal ini. Jika anak-anak melihat perbuatan yang tidak menghormati ini diterima, mereka akan terus berbuat seperti ini. Orangtua bisa membiarkan anak-anak meminta untuk tinggal lebih lama dengan halus, asalkan mereka ingat untuk mengatakan "please", dan harus tahu batasannya dan kapan berhenti meminta.

Wuuiihhhh… ternyata begitu susahnya menjadi orangtua yang baik, saya heran bagaimana caranya teman-teman saya memiliki anak-anak yang banyak tapi tanpa rasa stress, Sedangkan saya yang baru punya dua anak begitu kewalahan, pagi-pagi dimulai dengan ‘susah-payah’ membangunkan anak untuk sholat subuh, itupun sudah jam 6 bahkan lebih, siang hari bertengkar untuk menyuruh anak tidur siang, sore hari ‘berkelahi’ untuk menyuruh mandi, lalu malam hari ‘berperang’ untuk menyuruh mematikan televise, belajar dan lalu tidur.Sampai disitu..? ternyata tidak, ditengah pagi buta, jam 2. anak terbangun minta dibuatkan susu…..Please…bagaimana kita tidak stress dengan rutinitas seperti itu.

Note : Saya harus mengakui bahwa sebenarnya saya merasa malu membuat tulisan-tulisan seperti ini, bagaimana tidak kalau saya hanya bisa menulis tetapi teramat sulit mempraktekkanya.

Yach..semoga Saudara-saudaraku terinpirasi dari tulisan ini.

Wassalam,

Abu Majid.

Kamis, 08 September 2011

KETIKA PERTANYAAN MENYINGGUNG SEPUTAR UKHUWAH ISLAMIYAH !

Oleh : Abu Majid
    
         Kita sudah terbiasa mendengar dan mengucapkan kata “Ukhuwah”, yach..meskipun tanpa kita sadari, secara perlahan maknanya mulai terdegradasi dari ingatan kita. Dapat dimaklumi, karena kita memang orang sibuk, kita sibuk dengan pekerjaan yang nyata-nyata menyita waktu kita. Dan disi lain kitapun rupanya sudah mulai ”menua”. Namun saudaraku, Ada baiknya kita mencoba lagi untuk memahami bagaimanakah yang dimaksud dengan Ukhuwah Islamiyah yang selama ini mungkin sempat atau sudah kita pahami secara khusus atau secara umum. Umumnya dipahami bahwa Ukhuwah Islamiyah adalah Persaudaraan diantara umat Islam, yang tidak terpecah belah, yang seperti badan sekujur, satu sakit yang lain juga merasakan sakit juga. Tentu saja disini yang perlu kita pahami adalah makna secara islam.
      Sedangkan "Lakum dinukum waliyadin", yang maknanya "Bagimu Agamamu dan bagiku Agamaku". Menggambarkan bahwa sangat jelas sekali Aturan Alloh yang mengatur Persaudaraan antara Muslim dan Non Muslim. Ada benteng yang menjaga agar  tak terjadi campur aduk diantara agama-agama yang berbeda.
      Lalu, bagaimana Persaudaraan diantara Muslim se Iman ?, Persaudaraan diantara umat Islam yang ini juga sudah diatur oleh al quran dan oleh hadits."Fastabihul khoirot" "berlomba-lomba menuju kebaikan" dan "Fastabihul Maghfiroh" "berlomba-lomba menuju ampunan Allah".Tentu saja anjuran utamanya adalah kewajiban saling mengingatkan, mengajak  kedalam kebaikan. Janganlah berjalan sendirian, jangan ingin masuk syurga sendirian. Jadilah sebuah pohon yang rindang , berbunga harum dan berbuah lebat. Jadi bagi sesama umat Islam, fokusnya adalah berlomba-lomba di dalam urusan kebaikan dan berlomba-lomba di dalam menuju ampunan Allah. Dalam sebuah hadist, seperti tulisan diawal disebutkan bahwa "Persaudaraan itu seperti sekujur badan". satu sakit yang lain juga merasakan sakit. Jika satu Kaki yang terantuk duri, maka mulut otomatis mengaduh dan tanpa diminta tangan otomatis mengusap bagian yang sakit. tanpa diperintahpun otak akan berpikir bagaimana supaya yang kena duri tidak sakit lagi dan bisa sembuh.

     Persaudaraan dan persahabatan itu dua hal yang sama hanya beda penyebutan saja. Kunci membina persaudaraan atau persahabatan adalah saling menghormati, memposisikan orang lain pada kedudukannya. Niat persahabatan murni karena falsafah ukhuwah Islamiyah. Nah di dalam urusan perbedaan, Nabi bersabda,"Perbedaan adalah rohmat". Artinya di Islam dihargai adanya perbedaan. Meski sebagian orang tidak meyakini akan hadits ini. Diantara saudara, sahabat bahkan diantara umat adalah  lumrah adanya perbedaan. Baikpun perbedaan di dalam memahami ayat-ayat al Quran maupun hadits dan juga perbedaan di dalam mempraktekkan agama Islam.
Seperti kemarin kita merayakan Hari Raya Iedhul Fitri dalam dua hari yang berbeda. Dalam keluarga saya sendiri juga terjadi perbedaan, Saudara saya ada yang berlebaran selasa, sedangkan saya dan orang tua saya merayakannya hari Rabu.Karena saya memahami hal itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan maka sayapun tidak menolak ketika adik saya berkunjung kerumah berlebaran pada hari selasa. Melalui SMS sayapun mengirim pesan kepada saudara dan sahabat-sahabat saya demikian ;” Godhong telo ijo-ijo pahit rasane, nyangking kupat boto njur dideleh mejo. Bodo Seloso utowo rebo podho wae, sing Penting Luput lan Dosane podho di ngapuro.”

    Kita pun seharusnya memahami bahwa perbedaan itu adalaha rohmat, semua punya dasar yang sama-sama kuat. Kalau dianggap bahwa yang benar itu dalam pemahaman ayat al Quran adalah satu paham saja, tentulah ini bertentangan dengan ayat al Quran yang kurang lebih menyatakan bahwa "jika lautan jadi tinta dan pohon2 jadi pena untuk menulis ayat-ayat Allah, tentulah setelah habis semua itu, ayat-ayat Allah belum akan selesai untuk ditulis". Semua mubaligh yang diundang BPUI untuk mengisi ceramah Romadhon kemarin pun kompak mengatakan ,” Perbedaan itu adalah hal yang wajar. Perbedaan tidaklah perlu dipahami sebagai sebuah pertentangan yang harus disatukan, apalagi dianggap sebagai sebuah perselisihan yang akan membawa kepada perpecahan. Sudah sejak masa Rosulullah saw pun, perbedaan itu ada dan ada. Untuk mensikapi adanya perbedaan itu al Quran mengatakan "lana a'maluna walakum a'malukum"."apa yang aku kerjakan ya untuk aku, dan apa yang kamu kerjakan adalah untuk kamu". Inilah yang banyak diceritakan di hadits-hadits bahwa tanggung jawab dihadapan Allah tiap-tiap orang adalah tanggung jawab masing-masingnya. Yang penting kita saling hormat menghormati pendapat yang berbeda dan perbedaan itu janganlah kemudian ditungganggi hawa nafsu merasa benar sendiri. Akar dari konflik adalah ketika perbedaan yang ada itu ditunggangi oleh hawa nafsu, maka pastilah timbul konflik yang bisa berakibat fatal. Tergantung kemampuan masing-masing di dalam pengendalian hawa nafsunya (baca tulisan saya sebelumnya ,”Kekuatan Iman sebagai Benteng Kehidupan”).

     Selain itu ada Ukhuwah atau Persaudaraan dengan sluruh umat manusia (kadang ada yang nyebut ukhuwah insaniyah), yang dirangkum oleh ayat al Quran dengan satu istilah saja "Rohmatan lil 'alamin"...Umat Islam dididik untuk merohmati alam. Seorang teman baik saya selalu mengingatkan saya akan petunjuk Rosulullah yang berbunyi "Khoiru nassi anfauhum linnas" "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain". Juga hadits Rosul yang menyampaikan bahwa "Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbuat baiklah pada tetanggamu" Tidak peduli tetangga kita itu beragama hindu, budha, kristen, apapun juga, wajib kita berbuat baik kepada tetangga kita. "Memuliakan tamu", tidak peduli agama apa saja, suku apa saja, wajiblah kita memuliakan tamu. "Santuni anak yatim dan fakir miskin", tidak peduli agama apa saja, asalkan seseorang itu yatim atau fakir miskin, maka wajiblah kita memberikan santunan dan perlindungan. Itulah yang menjadi salah satu kekuatan Dhien Islam, Islam tak pernah memaksakan seseorang diluar Islam untuk memeluk Islam, tetapi dengan kepedulian Islam kepada semua mahluk Alloh seringlah menjadi simpati tersendiri bagi mereka. Tugas siapa itu ? tentu saja tugas kita sebagai muslim. Dan masih banyak lagi wujud-wujud dari Rohmatan lil 'alamin ini. Firman Alloh Qs.Al-Hujurot : 13,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْ‌ۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ (عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬ (١٣
Artinya :" Hai manusia...Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..."

     Alangkah indahnya seandainya Ukhuwah Islamiyah ini, seandainya Persaudaraan yang telah diajarkan Islam ini kita praktekkan di dalam kehidupan sehari-hari... Saling tolong menolong, hormat menghormati, saling melindungi sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosulullah saw.
     Alangkah indahnya seandainya perbedaan diantara sesama umat islam tidak ditunggangi oleh hawa nafsu yang mengakibatkan perpecahan, pertengkaran dan perselisihan. Yang ada adalah saling menghormati perbedaan pemahaman dan keyakinan masing-masing faham. Alangkah indahnya apabila kehidupan ini diatur dengan dasar pengertian, dengan dasar tolong menolong dalam kebaikan dengan cara berkomunikasi yang lebih dewasa secara sopan dan secara santun. Alangkah indahnya jika jiwa besar ada di dalam dada kita masing-masing.... Perbedaan pendapat dipahami sebagai sebuah kewajaran. Yang mengkritik memang berniat untuk memperbaiki tanpa memaksakan kehendaknya, yang dikritik menerima dengan lapang dada dan ber-introspeksi. Tak ada lagi hinaan dan cacian Tak ada lagi celaan dan makian. Mari kita mencoba dari lingkungan terdekat kita..KELUARGA.!!

Wassalam