One Day One Juz : Bid’ah?
(Milis sebelah)
Oleh : Armansyah
Jujur
sebenarnya saya enggan untuk menulis artikel ini karena buat saya
pribadi rasanya agak berlebihan bila hal seperti ini saja menjadi
sesuatu yang kontroversi. Tapi karena kemudian banyak juga pertanyaan
yang masuk kepada saya berkaitan hukum mengikuti aktivitas “One Day One
Juz” atau yang biasa disingkat ODOJ akibat adanya pandangan miring serta
cap bid’ah oleh sejumlah kelompok yang ekstrim dalam agama ini,
akhirnya dengan mengucap Bismillah, saya tulis juga dengan harapan
semoga bermanfaat untuk semua.
Ikhwan wa Ukhtifillah rahmatullah ‘alaikum….
Istilah
ibadah yang sering kita sebut dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal
dari bahasa Arab, عُبُودَة، عُبُودِيَّة، عَبْدِيَّة (‘Abdiyah, ‘Ubudiyah, ‘Ubudah)
yang memiliki arti kepatuhan atau ketundukan. Istilah ini juga memiliki
pengertian yang sama dalam bahasa Ibrani “Abodah” yang artinya
mengabdi.
Tunduk
ya artinya merendahkan diri serta mengikuti kehendak sesuatu atau
seseorang yang kedudukannya ada diatasnya. Dalam terminologi syara’ atau
fiqh, maka yang disebut sebagai ibadah mencakup aktivitas lisan, hati
dan perbuatan fisik anggota tubuh yang dilakukan dalam rangka mencari
ridho Allah yang didalamnya terdapat rasa khouf (takut), roja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan) dan roghbah
(senang). Intinya, semua dilakukan sebagai bentuk abdi atau penghambaan
makhluk kepada Allah selaku al-Kholiq.
Inilah memang yang menjadi hakekat dasar penciptaan manusia.
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم
مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Istilah
ibadah menjadi istilah yang sangat umum sifatnya, sehingga kemudian
para ulama membagi aktivitas ibadah menjadi dua kategori, yaitu ibadah mahdhoh dan ada pula ibadah ghoiru mahdhoh.
Maksud dari ibadah mahdhoh adalah
aktivitas ibadah yang cara pelaksanaannya maupun waktu-waktunya secara
khusus telah ditentukan atau diatur oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya.
Misalnya Sholat, Puasa, Haji, Dzakat, Berwudhu dan seterusnya.
Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh adalah
aktivitas ibadah yang cara dan waktu pelaksanaannya tidak baku, saklek
atau pasti. , namun tetap ada syari’at yang menjadi landasan
perbuatannya. Hal ini bisa dicontohkan seperti melakukan sedekah secara
umum diluar dzakat, silaturahim, berdzikir, berdakwah, mengajar,
gotong-royong dan ibadah mu’amalah lain yang inti tujuannya tetap untuk
ber-taqorrub ilallah dan mencariridhotillah.
Kesalahan
yang sering terjadi adalah kita acapkali merancukan antara ibadah
mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh sehingga penjatuhan hukumnyapun
menjadi keliru. Sebagai konsekwensi kekeliruan pemberian hukum ini
muncullah kontroversi dan kekacauan ditengah umat, khususnya kalangan
akar rumput yang masih belajar.
Timbullah
fatwa-fatwa yang tidak populer dengan menyebutkan aktivitas tertentu
sebagai perbuatan bid’ah. Sedikit-sedikit bid’ah dan ujung-ujungnya di
cap sebagai kafir sebab dimunculkan anggapan pelakunya melakukan
kekufuran atas syariat.
Ya
disini saya tidak ingin menyebut nama kelompok atau jemaah tertentu yang
sering secara ekstrim dan serampangan melakukan hal-hal seperti yang
sudah saya sebutkan tadi. Saya berusaha menghindari konflik yang tidak
perlu namun tetap bersifat keras dan tegas.
Jadi
bila ada kelompok, komunitas, jemaah ataupun sekte yang merasa
tersinggung dengan tulisan saya serta pemahaman saya dalam beragama ini,
mohon maaf lahir dan batin sajalah. Tak perlu ribut dan saling
memaksakan paham. Jika anda setuju ya silahkan ikuti tapi bila tidak
suka, ya lakukanlah apa yang menurut anda sebagai suatu kebenaran.
Nafsi-nafsi intinya.
Balik
lagi pada ibadah ghoiru mahdhoh, tentu ada kriteria serta batasannya
juga yang wajib diketahui sehingga tidak terjebak pada perbuatan bid’ah
yang sesungguhnya. Diantaranya adalah:
Tidak
adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan
ibadah ghoiru mahdhoh tadi. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang atau mengharamkan aktivitas itu maka ibadah bentuk ini boleh
dilaksanakan.
Model,
cara, pola ataupun bentuk pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu
harus persis sama seperti apa yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana
diketahui melalui banyak riwayat hadist dan siroh nabawiyah. Misalnya,
cara berinfaq, bersedekah, penggunaan media dakwah, proses serta metode
belajar-mengajar, berdzikir dan lain sebagainya.
Ibadah
yang dilakukanitu haruslah aktivitas yang sifatnya logis, rasional atau
dapat dipahai secara akal sehat. Sehingga baik atau buruk, untung atau
pun rugi, benar atau salah, bermanfaat atau mengandung mudharat,
semuanya dapat dilihat dan ditimbang secara langsung tanpa harus ada
perdebatan dikalangan orang-orang yang berakal.
Nah,
rasanya sebagai pengantar cukuplah sampai disini bahasan tentang ibadah
mahdhoh dan ghoiru mahdhoh. Kita masuk dalam inti permasalahan yang
hendak dibahas yaitu hukum pelaksanaan pengajian al-Qur’an dengan
metode: One Day One Juz.
Apakah ODOJ ini masuk dalam klasifikasi ibadah mahdhoh ataukah ghoiru mahdhoh?
Adakah
cara-cara membaca al-Qur’an diatur secara khusus dalam nash syar’iat?
maka jawabnya ada, bahkan dalilnya jelas, tegas dan kuat dari
kitabullah. Maka dari itu hukum cara mengaji dengan pengertian disini
membaca huruf-huruf al-Qur’an masuk kedalam ibadah mahdhoh.
Allah berfirman:
“Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (QS Al Muzzammil 73:4)
Ibnu
Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah membaca
dengan perlahan-lahan dan hati-hati karena hal itu akan membantu
pemahaman serta perenungan terhadap al-Qur’an. Membaca tartil juga pada
tingkatan lebih jauh dapat dimaknai dengan memahami makhorijul huruf
(tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf),
ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang
dan pendek ucapan) hingga ahkamul waqof wal ibtida’ (memulai dan
menghentikan bacaan) yang semua itu tercakup dalam ilmu tajwid.
Dalam ayat lain disebutkan juga:
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an.” (QS Thaha 20:114)
Ada juga beberapa riwayat bercerita:
Sunan Abu Daud 1252: Telah menceritakan kepada Kami Musaddad telah menceritakan kepada Kami Yahya dari Sufyan, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim bin Bahdalah dari Zirr dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur’an: “Bacalah, dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (jangan terburu-buru), sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.”Sunan Abu Daud 1258: Telah menceritakan kepada Kami Abdul A’la bin Hammad, telah menceritakan Abdul Jabbar bin Al Ward, ia berkata; saya mendengar Ibnu Abu Mulaikah berkata; Ubaidullah bin Abu Yazid berkata; Abu Lubabah lewat didepan Kami, lalu Kami mengikutinya hingga dia masuk ke rumahnya dan Kamipun masuk menemuinya, ternyata ia adalah seorang laki-laki perabotan rumahnya sedikit dan kondisinya memburuk, kemudian aku mendengar dia berkata; aku mendengar Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Bukan dari golongan Kami orang yang tidak memperindah bacaan Al Qur’an.” Abdul Jabbar berkata; aku bertanya kepada Ibnu Abu Malikah; wahai Abu Muhammad, bagaimana pendapatmu apabila ia tidak bagus suaranya? Ia menjawab; ia perindah suaranya semampunya. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al Anbari, ia berkata; Waki’ dan Ibnu ‘Uyainah berkata; yaitu ia menyibukkan dengan Al Qur’an.Sunan Nasa’i 1640: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Ibnu Syihab dari As Saib bin Yazid dari Al Muththalib bin Abu Wada’ah dari Hafshah dia berkata; “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sunnah sambil duduk, hingga menjelang setahun sebelum beliau wafat, (saat itu) beliau sering shalat sambil duduk, membaca surah Al Qur’an dengan tartil, sampai-sampai beliau memperlama dalam membacanya.”
Jadi
ada dua hal yang diatur oleh Allah melalui kitab-Nya mengenai membaca
al-Qur’an yaitu harus tartil dan tidak boleh terburu-buru. Hal ini bisa
kita pahami karena al-Qur’an berfungsi sebagai al-Huda, hudan lil
muttaqin, petunjuk bagi orang yang bertaqwa pada Allah. Jika membacanya
serampangan asal jadi saja, bagaimana mungkin al-Qur’an dapat menjadi
petunjuk dan pedoman?
Yang ada kita justru menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai mantra alakadzam.
Oke insyaAllah dapat dipahami ya sejauh ini….
Sekarang,
bagaimana dengan metode tilawah One Day One Juz? dimana setiap orang
dari anggotanya atau member dipaksakan untuk mengkhatamkan setiap
harinya satu, one, (1) juz ? setelah khotam kemudian setiap orang
melapor dengan aplikasi WhatsApp sehingga pada hari itu ke-30 anggota
masing-masing khotam 1 juz al-Qur’an dan ditotal secara keseluruhan
khotam 30 juz setiap hari. Apakah ini tidak menyalahi contoh Nabi?
Bukankah ini Bid’ah?
Nah
jawabnya balik dulu nih… diluar tata cara membaca al-Qur’an yang sudah
kita bahas tadi, adakah sekarang ini metode tilawahan komunitas One Day
One Juz alias ODOJ itu masuk dalam kategori ibadah mahdhoh ataukah
ghoiru mahdhoh?
Setahu
saya, Rasul tidak pernah memberi “aturan main” secara detil mengenai
metode teknis pengkhotaman kitabullah. Jadi dengan kata lain, sifatnya
fleksibel. Artinya ini masuk dalam wilayah ibadah ghoiru mahdhoh.
Bid’ahkah?
Sst, nanti dulu main bid’ah ini… yuk baca dulu riwayat berikut:
Sunan Tirmidzi 2870: Dari Abu Burdah dari Abdullah bin ‘Amru ia berkata; Aku berkata; “Wahai Rasulullah, seberapa lama aku harus menghatamkan al-Qur’an?” Beliau menjawab: “Khatamkan setiap bulan.” Aku berkata; “Aku bisa lebih mampu dan lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam duapuluh hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam limabelas hari.” Aku berkata; “Aku bisa lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam sepuluh hari.” Aku berkata; “Aku dapat lebih baik dari itu.” Beliau bersabda: “Khatamkan dalam lima hari.” Abdullah berkata; “Setelah itu beliau tidak memberiku keringanan.”
Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih, dinilai gharib dari hadits Abu Burdah dari Abdullah bin ‘Amru. Hadits ini juga diriwayatkan melalui sanad lain dari Abdullah bin ‘Amru.Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah dapat memahaminya orang yang membaca (mengkhatamkan) al-Qur’an kurang dari tiga hari.” Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padanya: “Bacalah (khatamkan) al-Qur’an dalam empatpuluh hari.” Ishaq bin Ibrahim berkata; “Berdasarkan hadits ini, maka kami tidak suka bila empatpuluh hari berlalu dari seseorang, sementara dirinya belum pernah mengkhatamkan al-Qur’an. Sebagaian ulama menyatakan bahwa al-Qur’an tidak dihatamkan kurang dari tiga hari, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara sebagaian ulama yang lain memberi keringanan dalam hal ini. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwa ia menghatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat witir.” Diriwayatkan dari Sa’ii bin Jubair, bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat di (samping) ka’bah. Dan para ulama lebih menyukai membaca secara tartil.
Dari
riwayat diatas jelas kita tidak dapat menyalahkan metode ODOJ yang
mengkhatamkan al-Qur’an satu juz setiap membernya dalam satu hari.
Terlalu lemah dan pagi untuk membatilkannya sementara ada nash agama
yang mencondonginya. Saya percaya bahwa sekecil apa pun kebaikan yang
kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat
dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Saya juga percaya bila aktivitas ODOJ,
selama memperhatikan aturan main pembacaan al-Qur’an, bukanlah merupakan
ibadah yang sia-sia atau bid’ah.
Pelaksanaan
ODOJ justru dapat disebut sebagai penemuan baru dalam aktivitas
pengkhotaman kitabullah dikalangan muslim. Selain itu, konsekwensi
positip yang juga tidak dapat ditolak adalah unsur silaturahim antar
ikhwan dan ukhtifillah sekaligus cara mendekatkan umat pada kitabullah.
Problem
umat Islam sekarang ini sangatlah kompleks dan jangan hal itu dinafikan
dengan membid’ahkan segala sesuatu yang tak sepaham dengan pemikiran
dan paradigma kita. Generasi muda Islam hari ini, terutama mereka yang
tinggal di perkotaan, sudah cukup jauh dari al-Qur’an. Mereka lebih
dekat pada musik dan sinetron serta film-film barat yang penuh dengan
action dan seksualitas.
ODOJ
menjadi alternatif cara mendekatkan kembali generasi muda Islam pada
al-Qur’an, dari dekat mudah-mudahan timbul senang dan cinta. Dari sini
mudah-mudahan lagi bi-idznillah, mereka akan tergiring untuk memahami
lalu mengamalkan isinya.
Akhirnya,
hukum mengikuti One Day One Juz adalah tidak terlarang apalagi menjadi
Bid’ah, kecuali anda melakukannya dalam toilet atau sambil berzinah.
Musnad Ahmad 22201: Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Jarir telah bercerita kepada kami Hisyam bin Hassan dari Muhammad dari Abu ‘Ubaidah bin Hudzaifah dari Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa memberi contoh kebaikan dan diikuti orang, ia mendapatkan pahalanya dan pahala-pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun, sebaliknya barangsiapa memberi contoh keburukan lalu diikuti orang, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dosa mereka sedikitpun.”
Tapi
pak, kebanyakan para Odojers malah mengajinya sendiri-sendiri ditempat
mereka dan tidak ada orang yang menjadi supervisor atau mengawasi
bacaannya sehingga kecenderungan salah baca secara tajwid tetap
terbuka.
Oke,
saya paham dan dapat menerima argumen ini. Memang semestinya kita
membaca al-Qur’an dengan tartil tadi khan? Tapi untuk tahap awal, mari
azamkan dulu metode ODOJ ini sebagai bentuk pendekatan awal pada tahapan
selanjutnya dalam membaca al-Qur’an. Biasakan dulu lidah kita basah
oleh ayat-ayat-Nya. Apalagi kita juga adalah bangsa ‘Ajam, orang yang
asing dalam berbicara bahasa Arab. Setelah biasa membaca huruf-huruf
hijaiyyahnya baru kita baguskan bacaan tersebut.
Lalu bagaimana dengan kemungkinan ibadah ini menjadi riyak pak?
Nah, jawabnya… biar puas baca tulisan saya khusus tentang riyak saja ya.
Bismillah.
Saya
yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi
Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis dan
memiliki sandaran dalil yang kokoh.
Setuju
dan tidak setuju adalah hal yang wajar terjadi, saya tidak harus selalu
sependapat dengan anda atau siapapun dalam memahami agama Allah ini.
Least
but not Last, harus dimaklumi pula bila ODOJ pada hakekatnya hanyalah
salah satu metode untuk mendekatkan umat pada al-Qur’an. Membiasakan
umat untuk membaca al-Qur’an. Membiasakan lidah-lidah kaum ‘ajam ini
untuk melantunkan huruf-huruf hijaiyyah yang tak biasa diucap oleh
lisan-lisan mereka.
Pada
tataran lebih jauh, ODOJ cuma opsional. Para santri di pesantren
misalnya, mereka sudah masuk dalam tahapan mengkaji bukan lagi mengaji.
Bacaan mereka sudah bukan lagi satu juz sehari tapi sudah berjuz-juz
dalam tiap waktunya, bahkan boleh jadi mereka sudah masuk dalam metode
penghafidzan al-Qur’an. Jadi bila kita merasa tingkat interaksi kita
terhadap kitabullah sudah pada tatanan mengkaji, ya ODOJ bisa saja
sangat opsional sifatnya.
Faya ayyuhalmuslimuunal kirom.
Usikum Wa Iyyaya Bi Taqwallah wa akhussukum ‘ala tho’atihi.
Faqod Fazal Muttaqun.
Usikum Wa Iyyaya Bi Taqwallah wa akhussukum ‘ala tho’atihi.
Faqod Fazal Muttaqun.
Palembang, 24 Pebruari 2014
Mgs. Armansyah Sutan Sampono Azmatkhan
#Anggota ODOJ 505
#Anggota ODOJ 505