Saur Sepuh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Saur Sepuh adalah sandiwara radio yang menjadi Master of the
Legend atau legenda terbesar dari sandiwara radio yang pernah ada di
Indonesia. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki Kosasih (almarhum)
yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti mandraguna
bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja disalah satu kerajaan
diwilayah kulon yang bernama Madangkara.
Saur Sepuh disiarkan melalui media radio pada tahun 1980-an di Indonesia. Saur Sepuh mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di nusantara.
Serial ini mampu memukau jutaan pendengarnya di seluruh pelosok
nusantara. Hampir di tiap-tiap jam tertentu, masyarakat dengan seksama
mendengarkan serial ini. Pada saat itu, radio adalah satu-satunya media
hiburan rakyat Indonesia yang masih langka, sehingga untuk
mendengarkannya mesti secara beramai-ramai ke rumah tetangga yang
memiliki radio.
Perusahaan farmasi Kalbe Farma
sebagai produsen obat-obatan ternama menjadi mitra utama dari serial
ini. Dengan durasi 30 menit dipotong iklan produk obat-obatan, serial
ini mampu menghipnotis para pendengarnya untuk berhenti beraktivitas,
dan berkonsentrasi untuk mendengarkannya.
Sandiwara radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap
episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun
radio ditanah air
Sinopsis
Tokoh BRAMA KUMBARA
Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama
secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya yang bernama
Darmasalira adalah keturunan Raja Madangkara yang terkudeta; Kakek
Astagina, guru dan juga kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi
Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri. Ayah kandung Brama tewas
dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.
Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa,
seorang bangsawan dan pejabat dari Guntala. Dari perkawinan ini,
lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama.
Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena dia jugalah yang
memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan pasukan perang
Guntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang
juga menjadi jajahan Guntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang
mampu menghancurkan Guntala.
Brama kecil diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina,
seorang pendekar tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri
dan pernah menjadi raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama
memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu
Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang
bernama Serat Jiwa (sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama
kembali menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya diatas serat jiwa,
bernama Lampah Lumpuh)
Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain di
luar itu. Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya
satu ilmu yang tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina
kepada Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang
Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat
seperti digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru
hanyalah pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah
dan mengeluarkan gulungan kertas berisi silsilah raja-raja Madangkara.
Dari gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai
salah satu keturunan raja Madangkara yang sah.
Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang
yang satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini
didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu
kandung Brama.Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang sebenarnya
membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab
itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat
Madangkara, semua orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi
sebagai seorang pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat
Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula
hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga
sangat baik. Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan
manapun disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala,
Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan
senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu
sahabat dekatnya.
Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara
dibagian awal cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan
dengan kesaktian milik Tumenggung Gardika dari Guntala. Brama kalah
dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa
sampai pada tingkat kesepuluh (yaitu tingkat terakhir dari ilmu
tersebut). Sementara tingkatan ajian serat jiwa milik Brama ketika ia
bertarung melawan Gardika belum mencapai puncak. Dengan kondisi yang
terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan
ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai
Selatan. Kemudian, dari peristiwa kekalahannya itu, Brama
menyempurnakan Ajian Serat Jiwa yang ia miliki hingga sampai di Tingkat
10, tingkatan tertinggi ilmu ini.
Gardika yang juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10
akhirnya kembali bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut
berikutnya itu Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung.
Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang
sama, Brama lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan
ilmu tersebut. Selain itu Brama mempelajari ajian serat jiwa langsung
dari kitab aslinya sehingga penguasaannya pun lebih sempurna dari
Gardika. Memang saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak
pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai
sampai tingkat tertinggi. .
Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam
yang menjadi musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai
tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan
setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat
4, Mantili sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua
istri Brama Kumbara) maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat
menggantikan Patih Gotawa dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya
sampai tingkat 8, Soma Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari
padepokan gunung wangsit) hanya sampai tingkat 9.
Hanya Brama, Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan
tentu saja Kakek Astagina sendiri yang menguasai sampai tingkat 10.
Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili,
hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai
ilmu serat jiwa itu sendiri.
Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina
yang ada digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi
pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh
Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang
merupakan orang-orang Guntala yang dendam dengan Madangkara. Pada
peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah
menjadi raksasa Buto Agni.
Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini
akhirnya bisa dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu,
setelah ia menangis dikaki Buto Agni.
Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai
Selatan itu diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan
Panglima Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara
sendiri bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.
Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan
orang-orang Guntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus
berlanjut sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan
Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.
Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai
ilmu Waringin Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan
ajian Serat Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua
kalinya setelah ia melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara,
kembali menemui kekalahan.
Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik
mengalahkan aji Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik
lemah ilmu itu melalui perpaduan antara ajian Serat Jiwa tingkat 1 dan
ajian serat jiwa tingkat ke-10. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting.
Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi
Lugina dan Lasmini.
Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji
waringin sungsang saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan
yang salah bisa bertobat. Akhirnya, Brama menciptakan ilmu baru bernama
Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan
orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya
berbalik menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua
ancaman. Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Bhiksu
Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri kegoa pantai selatan sampai wafatnya.
Tentang RAJAWALI SAKTI
Burung Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil,
ketika digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika
Brama bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka
dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas
di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah ‘jatuh cinta’
dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius
oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu
terbang….” katanya; tapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan
membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa
berbahaya.
Beberapa kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika
karena saking penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu
bersuit memanggil rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang
menyerang. Terjadi pertarungan sengit dan kemudian Brama ‘menclok’ di
punggung rajawali itu dibawa terbang tapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya
Rajawali itu ‘menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah
terbang berputar tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun
mereka bersahabat… Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan
Rajawali itu pun menjadi tunggangannya.
Disini kisah pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki
kemiripan dengan versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok
Kakek Astagina diubah menjadi Sekar Tanjung.
ilustrasi pribadi atas sosok Brama yang sedang menunggang burung rajawali
Di kemudian hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali
Saktinya itu sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah
kendi wasiat pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana
ketika kendi itu dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang
bisa menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.
Tokoh JAKA LUMAYUNG : Ini adalah kakak seperguruan Brama, sama-sama
murid Kakek Astagina. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan
memimpin Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang
bersama Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang
pada Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya,
Jaka Lumayung kalah. Brama kemudian menciptakan Ilmu Lampah-Lumpuh di
perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia
merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran.
Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama
40 hari lamanya.
KELABANG HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar
Mantili waktu muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung
Wangsit milik Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan
itu dengan bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta.
Mantili pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa
tingkat 2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan
oleh Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan
Jaka Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian Serat Jiwanya sampai
tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat membinasakan Si
Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai Ajian Serat
Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan ilmu ini
ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung Saba yang
hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili juga
pernah dikalahkan oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu Waringin
Sungsang.
KANDARA: Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan
menjadi pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada
generasi kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra
kandungnya dari Harnum yang bernama Wanapati).
Kandara mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara,
putra Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara di antara
keduanya. Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak
angkat Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai
Ajian Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan
Soma Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang
Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.
Kisah Perjalanan cinta Brama Kumbara :
UTARI, ia adalah cinta pertama Brama. Ia seorang gadis pendekar yang
bertemu dengan Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar
siluman di Desa Halimun. Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan
‘nasionalis’ Madangkara. Sayang, kemudian dia tewas dalam salah satu
pertempuran… Utari ini adalah puteri dari Panglima Bernawa, salah satu
panglima perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.
Lama kemudian, barulah Brama menemukan cintanya kembali pada diri
Harnum, gadis bangsawan dari kerajaan Niskala- yang juga seorang
pendekar dan petualang.
Disaat bersamaan, Brama juga bertemu dengan seorang janda bangsawan
dari Sadeng bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama
Bentar. Ia pernah diselamatkan oleh Brama dalam sebuah peristiwa dan
selanjutnya ikut dengan Brama dalam pengembaraannya bersama Harnum
sebagai pendekar.
Selain Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih
tua dari Bentar. Ia bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan
Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada kekerajaan Sadeng itu,
Garnis terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan undur diri
dari jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang
kemadangkara bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai
Pramitha dan Bentar.
Kisah berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha pada Brama
sebagaimana juga Harnum mencintai Brama. Karena persahabatan yang erat
dan mengetahui bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya,
maka ketika Pramitha dilamar oleh Brama, Pramithalah yang mensyaratkan
untuk juga menikahi Harnum. Jadilah Brama beristeri dua, dan keduanya
diangkat menjadi Permaisuri sampai Brama diceritakan wafat. Ia tidak
pernah punya selir.
Selain Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang
pernah mengisi hati Brama. Namanya adalah Doria, gadis cantik berjiwa
petualang. Dari Doria inilah Brama menerima Sepasang Gelang Marmer
Putih yang selalu melekat ditangan Brama dan menjadi salah satu senjata
pusaka Madangkara.
KISAH CINTA MANTILI-GOTAWA-SAMBA-WIDATI
Mantili pada mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan
dari Kerajaan Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis
pengembangan Padepokan Gunung Wangsit yang didirikan oleh Mantili.
Mereka memang saling mencintai, tapi juga sering bertengkar karena
dua-duanya sama-sama muda dan keras.
Raden Samba memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa
menembus tanah. Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan
dengan seorang janda muda dan kaya bernama Widati, yang dulu merupakan
isteri Juragan Anom. Sebuah perjumpaan biasa, bermula dari menolong roda
pedati yang terperosok, sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama.
Sebagai catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang muda
dan cantik, semacam janda kembang.
Ketika Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng
yang di ikuti oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah
pulau terpencil, perahu yang mereka tumpangi telah di lubangi oleh
penjualnya yang ternyata ulah dari anak buah miranti.Di tengah gelombang
tinggi dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para penumpangnya
berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian,
sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke
tempat kering. Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak
hingga terdampar di sebuah gua di pinggir pantai.
Entah siapa mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga
saling tergoda, dalam keadaan terdampar itu, terjadilah ‘perselingkuhan’
antara Raden Samba dan Widati. Ketika mengetahui hal itu, tentu saja
Mantili murka… untunglah Brama berhasil meredam suasana sehingga tidak
terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan
Widati. Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan
sekian lama, hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri
tetap bersahabat baik.
Ketika Mantili dalam situasi ‘galau’ itu, orang yang sering hadir
menemani adalah Gotawa, seorang pejuang nasionalis Madangkara yang
sebenarnya juga sudah lama bersama Brama dalam perjuangan menegakkan
kembali Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama menumbuhkan cinta,
bukan cinta yang romantis memang… tapi perjumpaan pribadi yang cocok:
Gotawa sangat mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga
sangat menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau
mengalah dan bisa ‘ngemong’ watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.
Mantili merasa menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu
mengimbangi sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria
yang baik seperti sosok kakaknya, Brama Kumbara.
Brama yang memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya
orang seperti Gotawa yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya,
tentu saja mendukung dan mendorong pula perjodohan mereka. Akhirnya
mereka pun menikah, dari perkawinannya lahirlah Pangeran Paksi Jaladara
atau Raden Paksi Jaladara.
Kisah persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa
dengan Raden Samba, mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden
Samba atas izin dari istrinya, Widati, membantu Mantili menemukan
kembali Pedang Setannya yang hilang dicuri setelah penyerbuan Wirya
Kumandra yang mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang berhasil
mencuri pedang itu.
Diantara keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun,
hubungan mereka setelah keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan.
Raden Samba juga dalam proses pencarian pedang setan ini pernah
menyelamatkan Mantili yang hampir tewas dihajar oleh Lugina dengan ajian
Waringin Sungsang.
Adapun sosok Patih Gotawa, dia sebenarnya jika dilihat dari sejarah
awal Saur Sepuh, berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati
Madangkara sebelum diserang oleh Guntala. Gotawa merupakan adik
seperguruan dari panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh ditangan
Guntala, Gotawa menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus
menghimpun kekuatan di antara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan
pembrontakan terhadap Guntala.
Brama sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia
Gotawa setidaknya sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung
Mantili. Gotawa menguasai ilmu Tatar Bayu yang membuatnya bisa berlari
sangat cepat seiring angin.
Gotawa adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu
akan terbukti dengan pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama
Kumbara.
Tentang PEDANG SETAN dan PEDANG PERAK
Tentang latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan
Pedang Setan yang selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu
pedang ini bisa mengeluarkan asap berbau busuk seperti bangkai yang
memabokkan lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat, sehingga
jarang-jarang ada pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.
Brama yang berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa
Pedang Setan dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang
sangat berbakat memainkan pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam
hal penguasaan ilmu kadigdayaan, tetapi sangat berbakat dalam ilmu
tangan kosong dan sangat mahir dalam memainkan pedang.
Maka, ketika Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan
langka ini, bisa dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili
menjadi terkenal sebagai pendekar pedang sejati, pendekar pedang nomor
satu. Ada suatu rahasia yang diketahui Brama dan disampaikan pada
adiknya, sehingga hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang
pusaka dengan sempurna, tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh
aroma busuk asap beracun si Pedang Setan.
Kemasyuran nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar
pedang kelas wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si
Pedang Perak. Ia seorang pendekar pedang yang sangat sakti pula,
mempunyai pedang pusaka bernama Pedang Perak, yang mengeluarkan cahaya
yang sangat menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si Pedang Setan,
untuk membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang
sejati atau pendekar pedang nomor satu.
Awalnya tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka
sama-sama tokoh golongan putih dan memang tidak saling memiliki
persoalan, tapi lama-lama akhirnya dilayani juga. Mantili berlatih
pedang dibawah pengawasan patih Gotawa dengan cara menatap matahari,
sebab pedang perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa
membutakan mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri
dengan latihan bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan,
akhirnya duel pun dilaksanakan. Pertempuran di bawah sinar purnama itu
begitu dahsyat dan berimbang. Namun akhirnya Mantili yang unggul. Taji
Barnas Si Pedang Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang tingkat
tinggi itu.
Taji Barnas mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian
waktu senjata itu hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada
suatu peristiwa, Pedang Setan Hilang, dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan
Si Dewa Maut, pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi oleh Jasiun,
dan kemudian jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara
seperguruan Kijara dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa
menggunakan Pedang Setan dan kemudian berhasil pula memainkannya.
Dari peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang
Perak secara sempurna. Hebatnya, pedang perak ini tidak akan rusak atau
patah ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah
pertempuran dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut
kembali pedang setannya dan membunuh Mariba.
Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati
Kedua tokoh ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh.
Kehadiran Paksi Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari
sandiwara radio tersebut yang menceritakan perjalanan generasi kedua
tokoh-tokoh sakti Madangkara.
Sayangnya diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah
terlibat konflik dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan
bersumber dari kedua tokoh ini secara langsung akan tetapi berkat
konspirasi dari Patih Kandara yang mendampingi Wanapati di Madangkara.
Raden Paksi mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya,
Mantili. Punya cita-cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata
kerajaan madangkara. Demi mewujudkan cita-citanya ini dia sering melatih
olah kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda Madangkara di
kadipaten jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih
kandara yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang
menyusun kekuatan untuk memberontak.
Prabu wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan
polos. Dia lebih menyukai ilmu tata pemerintahan dari pada olah
kanuragan. Namun karena usianya msh sangat muda, ia menjadi makanan
empuk bagi hasutan patih kandara yang licik.
Raden Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan
Adipati Sadeng. Meski begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat
brama. Arif bijaksana dan sakti mandraguna. Dia jadi penengah dan
pendamai dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode Sengketa
Tanah Leluhur.
Atas konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh
prabu Wanapati dari Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur.
Raden Bentar sendiri pernah terluka parah diserang oleh Patih Kandara
dengan ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan prabu Wanapati
putera Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh
ibunya, Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai
selatan ditemani juga oleh rajawali raksasa milik Brama.
Selanjutnya dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar
diceritakan berguru dengan Bhiksu Kampala dari Tibet hingga menguasai
ilmu Angin Es, Ikatan Roh dan Salju Menyiram Bumi.
Patih Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya
dikalahkan oleh paman Soma Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah
berkhianat dan bersekutu dengan Miranti si Klabang Hitam dalam mencuri
kitab Ajian Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik Mantili. Patih
Kandara yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh
Soma yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini
diceritakan pula tentang pertobatan dari Soma atas sikap-sikapnya yang
keliru dimasa lalu pada Mantili. Pertobatannya itu diterima oleh
Pramitha dan Bentar yang kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk
menjalin hubungan baik kembali kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.
Tokoh Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama
dari Pramitha dan Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana
Mantili. Ia pernah mengembara ke Majapahit untuk menuntut balas pada
patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam penyerangan Majapahit ke
Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu dengan
Pramitha dan Bentar di Madangkara.
Tokoh Garnis pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah
Leluhur. Ia menjadi salah satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah
Saur Sepuh pada generasi keduanya.
Adapun mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan.
Ia pernah menjadi kekasih dari Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre
Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama Wardhana di Majapahit.
Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria
Madangkara karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna
utusan Brama kepada Pamotan.
Lasmini kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk
menuntut balas. Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama.
Karena cintanya ditolak oleh Brama, Lasmini akhirnya melampiaskan
kekesalannya dengan Mantili, Gotawa dan Harnum. Ketiganya berhasil
dirobohkannya dengan Aji Sirep Megananda.
Syahdan setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian
yang mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum, kelak Lasmini kembali
membuat keributan di Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh
Mantili dan diusir keluar dari Madangkara. Jamali sendiri kemudian
mengabdi di Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah menemani
Brama melawat kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya.
Jamalipun pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan
Senopati Indra Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi
dari Kijara dan Lugina yang menguasai ilmu Waringin Sungsang.
Jauh berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini
menemukan sosok Brama pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati
Bentar yang usianya sebenarnya jauh dibawah Lasmini. Dengan berbagai
pendekatannya, Lasmini berhasil memikat Bentar. Keduanya sempat terlibat
skandal asmara. Hanya sayangnya, kisah cinta ini justru mendapat
pertentangan langsung dari Mantili. Di matanya Lasmini benar-benar
seorang wanita penggoda. Ia tak rela Bentar dipermainkan cintanya.
Mantili, di mata Lasmini adalah perempuan yang sok kuasa dan terlalu
jauh berprasangka tentang cintanya kepada Bentar, lelaki muda yang
sungguh kini merenggut hatinya. Bagi Lasmini, Mantili adalah penghalang;
di mata Mantili, Lasmini adalah perempuan jalang yang harus
disingkirkan. Perseteruan dua wanita pendekar pun semakin dalam dan
membakar dada.
Singkat cerita, Lasmini yang cintanya terlunta-lunta akhirnya jatuh
di pelukan hartawan tua, Juragan Basra. Disangkanya kebahagiaan akan
dapat diraihnya dengan bermodalkan harta. Tapi harapannya sia-sia. Hidup
bersama tanpa cinta ternyata tak memberi kebahagiaan yang dicarinya.
Mereka berselisih dan bertengkar. Pertengkaran memuncak ketika Lasmini
hendak pergi, ikut boyong rakyat Pajajaran ke Galuh. Bagi Juragan Basra,
ini bukan kepergian biasa… Lasmini pasti hanya cari alasan untuk
meninggalkannya.
Marah, tak rela ditinggal tapi juga tak bisa menahan kepergian,
Juragan Basra pun gelap mata. Ia menyuruh anak buahnya membinasakan
Lasmini… lebih baik ditinggal mati sekalian daripada ditinggalkan pergi
ke entah tujuan. Anak buah Juragan Basra tak mampu menandingi ilmu silat
Lasmini. Tapi mereka bukan orang bodoh dan pula bukan pendekar yang
mengandalkan ilmu kesaktian saja. Dengan licik mereka menyerang
menggunakan serbuk beracun. Lasmini roboh… dan lelaki-lelaki berandal
itu pun akhirnya secara beramai-ramai memperkosanya, sebelum kemudian
membunuhnya dengan jalan melempar kejurang.
Dalam hitungan detik tubuhnya menyentuh dasar jurang, datanglah
seorang nenek tua yang menolong Lasmini yang tak berdaya. Nenek Lawu,
pendekar sakti mandraguna menolongnya, bahkan kemudian menggemblengnya
dengan ilmu-ilmu yang luar biasa. Jurus yang langka dan digjaya,
melempar kembang anggrek jingga sebagai senjata rahasia. Berbekal ilmu
sakti, Lasmini mengamuk menuntut balas pada lelaki-lelaki yang
menginjak-injak harga dirinya.
Setelah kematian gurunya, Lasmini turun gunung… kemunculannya untuk
menuntut balas menggegerkan Pajajaran. Para pendekar yang penasaran pun
banyak yang berjatuhan. Madangkara pun tersulut rasa penasaran.
Dikirimlah dua jawara Madangkara, Atang Subali dan Gatra Denawa,
sepasang pendekar cambuk yang perkasa. Jurus Anggrek Seratus tersapu
habis oleh dua jawara Madangkara yang memang perkasa. Tapi Lasmini kini
adalah pendekar pilih tanding. Anggrek Seribu, jurus andalan ilmu
Anggrek Jingga dikeluarkannya. Dua jawara pun roboh tak berdaya, cambuk
mereka terlepas ketika Lasmini denga jeli dan cepat membidik pergelangan
tangan mereka. Kehebohan demi kehebohan terus berkembang seiring
munculnya pendekar perempuan yang bersenjatakan anggrek jingga, Si
Kembang Gunung Lawu. Lasmini pun semakin dikejar dan diburu.
Kembali terulang nasib Lasmini: menjadi yang terpinggirkan, terusir
dan kalah oleh kenyataan. Ia yang semula turun gunung sebagai pendekar
sakti mandraguna, yang siap menuntut balas terhadap para penghinanya,
kini terpaksa menyingkir karena begitu banyak pendekar yang memusuhinya.
Di Gunung Lawu, rumah gurunya, saat kepedihan begitu dalam
menyiksanya, tak sengaja ia menemukan sebuah Kitab Pusaka, suatu ilmu
yang belum diwariskan oleh gurunya, Ilmu Sinar Dewata atau yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan Ajian Cipta Dewa, ilmu yang bersumberkan
pada penggabungan intisari Ajian Serat Jiwa, intisari Ajian Waringin
Sungsang, dan intisari Ilmu Lampah-Lumpuh. Penuh harapan, Lasmini pun
mempelajari kitab ilmu sakti gurunya. Dan begitu berhasil menguasai
Cipta Dewa, pertama-tama ingin dijajalnya kesaktian baru ini dengan
menantang Sang Mahaguru Padepokan Gunung Saba, Panembahan Pasopati.
Cipta Dewa memang luar bisa, Sang Panembahan yang digjaya itu pun tewas
karenanya.
Target berikutnya dari Lasmini adalah Mantili. Dalam sebuah
pertempuran hebat, Mantili pun roboh tak berdaya menghadapi Ajian Cipta
Dewa. Kalau saja bukan karena Bentar menghalanginya, pastilah Mantili
akan tewas saat itu juga. Tapi nasib Lasmini selalu demikian, terulang
dan terulang: ketika kemenangan seolah telah diraih, saat itu juga ia
terlempar ke jurang kegagalan. Ilmu sakti berhasil dikuasanya. Pendekar
yang begitu tersohor pun roboh tewas di tangannya. Mantili musuh
bebuyutannya pun berhasil ditumbangkannya… tapi ia terusir oleh lelaki
yang begitu dicintainya, “Bibi jahat… Bibi jahat… Bibi Lasmini telah
membunuh Bibi Mantili… Bibi jahat…. pergiiiiiii… pergiiiiiii….!”
Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membencinya
seperti Mantili, Lasmini memang tertusuk hatinya tapi itu tidaklah
apa-apa, malahan memacu semangatnya untuk membalas pada saatnya. Tapi
dibenci oleh orang yang dicintai dan sebenarnyalah sungguh pula
mencintainya, ah itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya…. Lasmini…
Lasmini… beginilah yang terus terjadi, wanita yang ingin mereguk
kebahagian sederhana saja, tapi selalu tersingkir dan terlempar jauh
begitu apa yang dicari seolah sudah nyaris teregam di tangannya.
Raden Bentar berduka. Memang, di bibir ia mengusir Bibi Lasmini yang
dicintainya. Tapi dalam hati ia sebenarnya sangat merindukannya.
Kegalauan sang pangeran muda pun meresahkan para sesepuh Madangkara.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghiburnya, tapi juga sekaligus untuk
menjauhkan Lasmini dari hatinya.
Terpetiklah berita, seorang puteri pejabat Pajajaran, Tumenggung
Gitanyali, konon sangat cantik dan sedemikian mirip dengan Lasmini.
Dengan dalih mengundang menghadiri acara Kerajaan, Sang Tumenggung
bersama keluarganya diundang. Tujuannya, agar Raden Bentar bisa
diperkenalkan dengan Dewi Anjani, agar hatinya segera bisa melupakan
Lasmini. Anjani adalah seorang perempuan terhormat, puteri seorang
Tumenggung dari Kerajaan yang besar. Jauh lebih layak daripada Lasmini
yang di kalangan para sesepuh Madangkara dianggap tak lebih dari seorang
petualang cinta yang sedang memperdaya seorang remaja muda yang masih
hijau soal cinta.
Mereka pun akhirnya diperkenalkan. Raden Bentar pun terpesona pada
Dewi Anjani yang begitu mirip dengan Lasmini yang merenggut cinta
pertamanya. Tapi sebenarnyalah, Bentar tak sungguh jatuh cinta. Ia hanya
menemukan bayang-bayang Lasmini dalam diri gadis muda yang sedemikian
mirip dengan perempuan yang dicintanya.
Siapakah Dewi Anjani itu? Bagaimana ia bisa demikian mirip dengan
Lasmini? Konon ceritanya, ia sebenarnyalah anak gadis dari Lasmini
sendiri. Dikisahkanlah latar belakangnya. Dulu, tampillah Lasmini
sebagai seorang pendekar muda yang berbekal setingkatan ilmu
kependekaran berteguh membela keadilan dan kebenaran. Sekawanan perampok
dihajarnya, kocar-kacir tak berdaya. Tapi di tengah kebanggaan itu,
tampillah sahabat para perampok itu, seorang pendekar yang lebih tinggi
ilmunya, Si Tombak Iblis yang keji. Lasmini roboh di tangannya. Si
Tombak Iblis pun ingin memperkosanya.
Lasmini tak berdaya. Tapi di saat genting itu, muncullah seorang
prajurit muda yang tampan dan perkasa. Seorang punggawa pasukan tombak,
Punggawa Gitanyali namanya. Pendekar tombak bertemu pimpinan prajurit
tombak, beradu ilmu. Si Tombak Iblis tak berdaya, takluk di depan sang
prajurit muda perkasa. Orang muda, tampan, punya jabatan, punya
kesaktian…. sungguh bisa menjadi sandaran kebahagiaan. Lasmini pun
akhirnya menerima pinangan sang punggawa. Mereka hidup bahagia sampai
kemudian Lasmini melahirkan seorang bayi mungil yang cantik, puterinya,
Anjani… Dewi Anjani namanya. Tapi kebahagiaan yang baru datang, selalu
kemudian pergi.
Tak kerasan karena jiwa petualangnya terbatasi tembok-tembok istana,
membuat Lasmini sering cekcok dengan Gitanyali suaminya. Puncaknya,
mereka berpisah. Gitanyali tetap dengan pengabdiannya untuk negara,
kemudian menikahi gadis keraton juga yang dari dulu sebenarnya sudah
memperhatikannya tetapi tak pernah mendapat perhatiannya. Anjani pun
hidup dalam asuhan Gitanyali bersama isterinya yang barul. Sementara
Lasmini pergi merantau, pergi bersama hatinya yang terluka… sampai
kemudian ia bertemu Tumenggung Bayan, harapan barunya… tapi kekasihnya
itu pun kemudian tewas di tangan Brama Kumbara. Kebahagiaan seolah tak
mau datang, hanya menggodanya, begitu tertangkap langsung buyar dan
kembali ia terlontar ke sepi derita.
Kehebatan Lasmini dan sepak terjangnya yang selalu membuat ulah
dimana-mana dengan ilmu cipta dewanya akhirnya membuat Brama Kumbara
turun tangan, dari titik inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu
tokoh Madangkara digambarkan telah ditemui oleh Brama yang secara khusus
keluar dari tapa semedinya dipengasingan guna mewariskan ilmu Cipta
Dewi. Sebuah ilmu dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah Lumpuh
dan juga Cipta Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang
sebelumnya berilmu hebat akhirnya menemui kekalahan telak.
O.iya, ada dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua
punakawan yang selalu mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba
semasa mengelana sebagai sepasang pendekar yang mengejar Miranti si
Klabang Hitam. Nama keduanya adalah Merid dan Bongkeng.
Baik Merid maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian
apapun. Keduanya adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu
membawa-bawa barang di dalam pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden
Samba menikah dengan Widati, Bongkeng mempunyai usaha sendiri
dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses menjadi seorang
saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.
Inilah kisah asli Saur Sepuh yang pernah ada diera 80-an. Sebuah
kisah yang ditulis oleh almarhum Niki Kosasih dan menjadi populer
ditelinga anak-anak sampai orang tua dijaman itu.
Kisah kisah Saur Sepuh :
- DARAH BIRU
- PERJALANAN BERDARAH
- SINGGASANA BERDARAH
- BARA DI BUMI ANGKARA
- BANJIR DARAH DI BUBAT
- SASTRAWAN DARI JAMPARING
- SENGKETA TANAH LELUHUR
- SATRIA MADANGKARA
- DARAH PUTRA SANGGAM
- PESANGGRAHAN KERAMAT
- TELAGA RENA MAHAWIJAYA
- KEMBANG GUNUNG LAWU
- MUTIARA DARI TIMUR
- AIRMATA DI MADANGKARA
- PERAWAN BUKIT LEJAR
- PERGURUAN ANGGREK JINGGA
- TITISAN DARAH BIRU
- ISTANA ATAP LANGIT
- DIATAS LANGIT ADA LANGIT
- SEPASANG WALET PUTIH
Tokoh
- Brama Kumbara (suara diisi oleh Ferry Fadli): Raja Madangkara, kakak dari gusti putri Dewi Mantili, Beristrikan Dewi Harnum, Pramitha. Murid dari Ki Astagina. Brama Kumbara memiliki ajian gelang-gelang, Serat Jiwa, Ajian Waringin sungsang, Ilmu Ciptadewa. Brama Kumbara Diperankan oleh Fendi pradana.
- Mantili (suara diisi oleh Elly Ermawati): Adik dari Brama Kumbara, mempunyai pedang setan dan pedang perak. Pedang setan akan mengeluarkan asap beracun sementara pedang perak mampu membutakan mata. Mantili mempunyai musuh bebuyutan yaitu Lasmini, wanita sundal yang mengumbar cinta dimana-mana.
- Dewi Harnum : (suara diisi oleh Nani Sumardi)Istri pertama Brama Kumbara
- Paramita (suara diisi oleh Maria Oentoe) : Istri kedua Brama Kumbara
- Raden Samba (suara diisi oleh Edy Dhosa)
- Lasmini (suara diisi oleh Ivonne Rose): Perempuan penggoda, yang menebar cinta dimana-mana. Mempunyai Ilmu Cipta Dewa yang mampu mengalahkan mantili dalam duel berdua. Lasmini menyimpan dendam membara pada Brama Kumbara karena cintaya yang tidak terbalaskan. Diperankan oleh murti sari dewi.
- Bongkeng (suara diisi oleh Bahar Mario)
- Merit (suara diisi Mario Kulon)
- Patih Gotawa (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Suami Mantili
- Raden Bentar (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Putra Senopati Sadeng dan Dewi Pramitha sekaligus anak tiri dari Brama Kumbara. Raden Bentar merupakan generasi kedua Saur sepuh setelah Brama Kumbara dan Mantili bertapa disuatu tempat.
- Garnis Waningyun (suara diisi oleh Anna Sambayon pernah juga Novia Kolopaking): Kakak kandung Raden Bentar. Kelak ia bahu membahu dengan raden Bentar untuk mempertahankan Madangkara dari gerogotan orang-orang Kuntala.
- Raden Wanapati : Putra Mahkota Madangkara yang menggantikan Brama Kumbara. Dibawah kendali Wanapati, Madangkara banyak bergejolak, ketidak puasaan akan kepemimpinan kaum muda yang emosional di tentang oleh kaum-kaum tua yang telah berjasa pada Madangkara.
- Raden Paksi Jaladara (suara diisi oleh Bambang Jeger) : Putra dari Mantili dan Patih Gotawa
- Dewi Anjani (suara diisi oleh Novia Kolopaking) : Anak Lasmini. Mempunyai wajah yang amat mirip dengan Lasmini. Raden Bentar yang cinta mati dengan Lasmini (tapi ditentang Mantili) akhirnya tertarik juga dengan Dewi Anjani. Dalam menjalin Cinta Raden Bentar - Dewi Anjani, ada pihak ketiga yaitu sekar kedaton Madangkara Dewi Rara Amiati.
Brama pernah mencintai seorang wanita. Kisah cinta ini muncul dalam episode berjudul Bara di Bumi Ankara, dimana dalam perjalanannya di Ankara,
Brama jatuh cinta dengan seorang putri raja bernama Putri Doria.Cinta
pertamanya itu terbunuh dalam sebuah pertempuran. Sosok Brama yang
gagah, tampan, dan karismatik banyak menarik perhatian wanita, termasuk
Lasmini yang pada akhirnya menjadi musuh bebuyutannya. Di antaranya yang
akhirnya berhasil mengambil hatinya adalah sosok Dewi Harnum. Dewi
Harnum hampir selalu menjadi pendamping Brama dalam perjalanannya. Dia
juga yang menjadi satu-satunya saksi pertarungan dahsyat Ajian Serat
Jiwa tingkat 10 melawan Ajian Serat Jiwa tingkat 10 antara Brama dengan
Gardika (musuh bebuyutan Brama).
Namun kemudian Brama dan Harnum bertemu dengan Paramita, seorang
janda beranak 2 (Raden Bentar dan Garnis) yang juga menaruh hati kepada
Brama Kumbara. Harnum kemudian bersahabat erat dengan Paramita. Dan
ketika Brama kemudian menyunting Harnum, Harnum setuju dengan satu
syarat jika Brama juga menyunting Paramita.
Mantili
Sebenarnya cinta sejati Mantili adalah Raden Samba. Namun karena
sifat Mantili yang keras, mereka sering bertengkar dan pada akhirnya
Mantili malah menikah dengan Patih Gutawa. Raden Samba yang kemudian
menikah dengan wanita lain ternyata masih menyimpan hati kepada Mantili,
akibatnya pernikahannya jadi tidak harmonis.
Di kemudian, hari putra Raden Samba datang ke Madangkara mencari
Mantili untuk membalas dendam karena menganggap Mantili sebagai penyebab
ketidakharmonisan keluarganya.