Biarkan air mata ini mengalir bersama dengan dosa-dosa yang teringat. Lelapkan semua kesemuan dunia yang hanya sementara. Bukalah sedikit matamu untuk melihat dunia yang abadi, telungkupkanlah tanganmu untuk memberi... Berikan senyummu agar orang lain merasakan kabahagiaanmu... mari lukis perasan hati mencintaiNya dengan keimanan dan ketakwaan. Bismillah...

Selasa, 21 Desember 2010

Ayah Jahat...............!!

           Senja turun perlahan, dilangit warna lembayung mulai memudar. Gelap merambat memeluk bumi. Malam mengintip dari balik rimbunan hutan bakau dibelakang rumahku. Kumandang pengajian lamat-lamat sudah terdengar dari Masjid Fathul Khoir.
Aku mencelupkan kain pel dan memerasnya perlahan. Lalu melanjutkan ngepel ruang tamu yang tak seberapa luas. Sesekali aku mendengar tangisan dari balik kamar yang tertutup rapat. Terisak. Lirih. Anak keduaku masih mengunci dalam kamar sementara Ibunya masih belum pulang dari pengajian RT.
           Ketika untuk kesekian kalinya aku membilas kain pel itu lagi, sekelebat ingatan menyeruak kembali. Sepasang mata yang basah oleh air mata dan menatap tajam ke arahku. Dan bibir mungil itu, yang akhir-akhir ini senang sekali menyenandungkan lagu “Jangan Marah, marah itu temannya syetan”, menghunjamkan amarah langsung kepadaku.

AYAH JAHAT!!!” tangisnya pecah dan berlari kedalam kamar, menyembunyikan tangisnya di dalam kamar. Persis ibunya kalau sedang marah padaku
Sejenak aku menghela napas.
Mengingat kembali kejadian sore ini. Ketika kaki mungilnya yang kotor karena bermain dari luar, begitu saja masuk dan meninggalkan noda kecoklatan dari depan pintu hingga ke arah dapur. Malaikat kecilku itu rupanya kehausan dan langsung mencari minum, tidak peduli kepada bapaknya yang belum selesai mengepel lantai.
“Majiiiddd gimana sih? Tidak liat ayah lagi ngapain?” Aku merasa suaraku menggelegar di luar kontrol.
“Lagii… ngepel.” jawabnya pelan sambil meletakkan gelas di dekat TV. Langkahnya terhenti ketika sepasang matanya yang bulat menatap lukisan tapak kaki berwarna kecoklatan yang membentang ke pintu depan.
“Ya.. kotor lagi ya… Sini biar adik yang pel.” katanya sambil melangkah dan mencoba mengambil gagang pel dari tanganku.
APA-APAAN SIH??” suaraku semakin meninggi. Sejenak mata itu mengerjap, mungkin kaget dengan kerasnya suaraku. Tapi hanya sejenak, mungkin dianggapnya aku bercanda. Dan tanpa bicara dia tetap mencoba merebut gagang pel. Dengan keras aku menyentakkan peganganku. Dalam hitungan detik, tangannya terlepas. Kelihatannya tangannya kesakitan.
Sekali lagi dia mencoba merebut gagang pel dari tanganku. Aku bertahan. Dia bersikeras. Tapi apalah daya tenaga mungilnya melawan tenaga seorang ayah yang sedang dirundung kesal. Dengan sebuah sentakan yang kasar, sekali lagi pegangannya terlepas.
Tiba-tiba ia terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia baru menyadari bahwa ayahnya benar-benar sedang marah. Sambil menghambur ke kamar membawa tangis, dia masih menyempatkan untuk melepaskan amunisi terakhirnya. “AYAH JAHAT !!!
          Masalah yang bertubi-tubi menghajarku akhir-akhir ini, membuat aku kadang merasa tidak mengenali diriku sendiri. Aku sering mudah marah. Aku gampang tersinggung.
Untuk urusan ngepel, kadang-kadang aku juga membiarkan malaikat kecil itu ngepel semau dia. Tidak bisa diharapkan hasilnya akan bersih. Apalah yang bisa diharapkan dari pekerjaan anak yang bahkan kalah tinggi dengan gagang pel. Tapi aku selalu gembira melihat dia dengan serius mendorong-dorong kain pel. Biasanya aku akan membereskan hasil karyanya setelah menggiringnya ke kamar mandi.
Entah kenapa hari itu aku malah melampiaskan amarahku padanya. Padahal mungkin sebenarnya amarah ini harusnya jatah orang yang telah membuatku naik darah siang tadi. Aku memendamnya dan akhirnya … anakku yang jadi tempat sampah aku meluapkan amarah.
         Perlahan aku meletakkan gagang pel ke tembok. Aku menghela napas entah untuk ke berapa kalinya. Aku yang salah. Perlahan aku menuju pintu kamar. Aku berhenti sejenak. Suara tangisnya tidak terdengar lagi. Tidurkah dia?
Tanganku terulur untuk membuka pintu, ketika pada saat bersamaan pintu kamar terbuka dari arah dalam. Majid berdiri dengan mata yang masih menyisakan tangis. Dan langsung menghambur ke arahku. Tangisnya pecah lagi. Aku jongkok dan memeluknya erat. Pundakku basah. Aku mengelus perlahan rambutnya.
Belum lagi aku sempat berucap meminta maaf, dari sela-sela tangisnya aku mendengarnya berkata “Maapin adik ya yah, sudah buat ayah marah.”
Lidahku kelu. Aku mendekapnya makin erat.
Giliran pundaknya yang basah. Pelupuk mataku terasa hangat oleh setetes penyesalan dari lubuk hatiku.

Sahabatku, saudaraku. Terkadang kita marah pada seseorang yang tidak semestinya menerima kemarahan kita. Kita baru menyadari setelah semuanya berlalu. Namun….hati yang terluka karena luapan kemarahan kita, tidak semudah kita meminta maaf untuk disembuhkan. Maka…berhati-hatilah saudaraku dalam melampiaskan kekesalan kita.


Bukit Sekatub Damai, sekedar cerita……..( SRT )